Friday, 01 August 2025

Harmoni di Bumi Toleransi: Kisah Al-Zaytun Merajut Perdamaian

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

Oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id - Dalam pusaran dunia yang kian bergejolak, di mana perbedaan seringkali menjadi pemicu perpecahan, Mahad Al-Zaytun berdiri tegak sebagai mercusuar harapan. Sejak awal pendiriannya, institusi pendidikan ini telah memancangkan visi mulia: menjadi pusat pengembangan budaya toleransi dan perdamaian. Sebuah jargon yang mudah terucap, namun tak mudah diimplementasikan dalam realitas hidup yang penuh dinamika.

Toleransi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dimaknai sebagai sikap menghargai pendirian yang berbeda, bahkan bertentangan dengan diri sendiri. Dalam konteks yang paling sensitif, toleransi seringkali dikaitkan dengan agama. Seolah, jika dalam ranah keyakinan yang fundamental saja seseorang mampu bertoleransi, maka hal lain akan jauh lebih mudah. Toleransi beragama pun menjadi parameter utama dalam mengukur sikap toleran seseorang. Ironisnya, perbedaan keyakinan beragama acapkali disinyalir menjadi pemicu konflik, meskipun motif aslinya bisa jadi adalah ekonomi, kekuasaan, atau politik. Namun, ketika agama dibakar, ibarat api yang disiram bensin, ia akan melahap segalanya dengan cepat dan mematikan.

Syaykh Al-Zaytun, pendiri Mahad Al-Zaytun, menyadari betul keberagaman luar biasa yang dimiliki Indonesia – mulai dari agama, suku, hingga bahasa. Tanpa landasan jiwa toleransi yang kokoh, keberagaman ini akan menjadi bara dalam sekam, yang setiap saat bisa meledak menjadi kobaran api. Oleh karena itu, moto Al-Zaytun, "Toleransi dan Perdamaian," lahir sebagai fondasi kuat bagi para pelajar, agar mereka menjadi kader bangsa yang mampu menyatukan dalam keberagaman, menumbuhkan "ika" dalam "bineka." Ini sejalan dengan pemikiran Charles Taylor dalam bukunya A Secular Age, yang menekankan pentingnya pengakuan terhadap keberagaman (recognition of diversity) sebagai prasyarat bagi kohesi sosial dalam masyarakat modern yang pluralistik [Taylor, 2007]. Tanpa pengakuan dan penghargaan terhadap perbedaan, toleransi hanyalah fatamorgana.

Merajut Persaudaraan Kemanusiaan: Dari Narasi Hingga Nyata

Membangun budaya toleransi dan perdamaian bukanlah perkara yang bisa diselesaikan dengan wacana semata. Ia membutuhkan upaya keras dan pendekatan multi-aspek. Di Mahad Al-Zaytun, narasi toleransi tak hanya diucapkan atau dituliskan, namun juga dipraktikkan secara nyata. Institusi ini secara rutin menerima kunjungan tokoh-tokoh lintas agama, baik dalam kunjungan harian maupun dalam acara-acara besar seperti perayaan 1 Suro. Mereka tidak hanya diundang dan disambut hangat, melainkan juga diberi ruang untuk berbicara di Masjid Rahmatan Lil Alamin, di hadapan puluhan ribu umat manusia.

Momen ini adalah penegasan fundamental bahwa semua manusia memiliki kesetaraan - setara sebagai makhluk Tuhan, setara sebagai manusia. Yang dibangun bukan hanya toleransi, melainkan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah). Konsep ini resonates kuat dengan pemikiran Karen Armstrong, seorang sejarawan agama terkemuka, yang dalam banyak karyanya menekankan perlunya compassion (kasih sayang) dan pemahaman lintas iman sebagai kunci menuju perdamaian global [Armstrong, 2007]. Dengan memberikan ruang dialog dan kesempatan bagi berbagai keyakinan untuk bersuara, Al-Zaytun membangun jembatan-jembatan yang menghubungkan hati dan pikiran, melampaui sekat-sekat dogmatis.

Untuk menumbuhkan jiwa toleransi dan perdamaian yang mendalam, Al-Zaytun membangun simbol-simbol yang masif dan berkelanjutan. Mulai dari prasasti, billboard, plang, lambang-lambang, hingga lagu-lagu, semua itu dirancang untuk menyemai benih-benih perdamaian dalam alam bawah sadar setiap individu. Moto Al-Zaytun sebagai "pusat pendidikan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian menuju masyarakat sehat, cerdas, dan manusiawi" tersebar di berbagai sudut: gedung, kantor, asrama, gerbang masuk, dan banyak lagi. Simbol delapan juru mata angin pun menghiasi seluruh bangunan, melambangkan inklusivitas dan keterbukaan terhadap segala arah dan pandangan.

Namun, yang paling masif dalam penanaman nilai-nilai ini adalah melalui lagu-lagu yang liriknya diciptakan sendiri oleh Syaykh Al-Zaytun. Lagu-lagu seperti "Mars Al-Zaytun," "Mars IAI Al-Zaytun," "Mars Pandu Pembela Umat dan Kemanusiaan (PPUK)," "Mars dan Hymne Masyarakat Indonesia Membangun (MIM)," hingga "Keroncong Perdamaian" menjadi melodi harian yang tak pernah lekang.

IMG 20250718 WA0001

Dalam "Mars Al-Zaytun" bait ketiga berbunyi: "Tempat menempa manusia beriman-hidup bertoleransi dan perdamaian." "Mars IAI Al-Zaytun" pada bait pertama menyatakan: "Pusat pendidikan nilai universal-dalam zona damai dan harmoni." Sementara itu, "Mars PPUK" pada bait ketiga menggemakan: "Kami pandu pembela kemanusiaan-berjiwa toleran dan cinta damai." Lagu "Mars MIM" di akhir liriknya berucap: "Menjunjung hak asasi manusia-penyebar toleransi dan damai," yang diperkuat oleh "Hymne MIM" di bait terakhirnya: "Menjunjung hak asasi manusia-penuh toleran damai sesama." Puncaknya, "Keroncong Perdamaian" pada bait terakhirnya menutup dengan haru: "Diteruskan hamba perdamaian-Al Zaytunlah wujudnya."

Lagu-lagu ini bukan sekadar melodi. Mereka dinyanyikan setiap pagi, baik di sekolah maupun di asrama, serta dalam berbagai perayaan di Al-Zaytun. Repetisi ini, sebagaimana dijelaskan oleh Ivan Pavlov dalam teorinya tentang pengkondisian klasik (classical conditioning), dapat menanamkan asosiasi kuat antara lirik-lirik tersebut dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya ke dalam alam bawah sadar individu [Pavlov, 1927]. Dengan demikian, jiwa toleransi dan damai bukan hanya menjadi mindset dan sikap, melainkan meresap menjadi darah daging setiap anggota keluarga besar Al-Zaytun. Ini adalah bentuk pendidikan karakter yang holistik, di mana nilai-nilai diinternalisasikan melalui pengalaman berulang dan lingkungan yang kondusif.

Epilog: Damai bukan utopia, tapi realitas yang berwujud di Al-Zaytun

Ketika senja memerah di ufuk barat, memantulkan cahaya keemasan di atas kubah-kubah Mahad Al-Zaytun, seolah ada janji yang terucap dari setiap sudut bangunan, dari setiap desah angin yang melintas di antara pepohonan. Janji tentang persatuan, tentang kasih sayang, tentang sebuah dunia di mana perbedaan bukanlah jurang pemisah, melainkan melodi indah dalam simfoni kehidupan. Di sini, di bumi toleransi ini, bibit-bibit perdamaian disemai dengan gigih, disirami dengan ketulusan, dan dibesarkan dengan keyakinan bahwa pada akhirnya, kemanusiaan akan selalu menemukan jalan menuju harmoni. Semoga kisah Al-Zaytun ini menjadi inspirasi, sebuah pengingat bahwa mimpi akan dunia yang damai bukan hanya utopia, melainkan sebuah realitas yang dapat kita ciptakan bersama, langkah demi langkah, hati demi hati.