(Mengenal Tradisi-tradisi di Al Zaytun)
Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Pada Ahad, 13 Juli 2025. Pagi itu, saat gema "Okeke" (Olahraga Kebugaran Kaki) memenuhi lingkungan kampus Ma'had Al-Zaytun, sebuah kabar duka menyelimuti. Di tengah kesibukan aktivitas fisik, Ketua Majelis Guru, Drs. Purnomo, M.Pd, terlihat sigap berkoordinasi dengan Sekretariat Pendidikan. Bukan untuk urusan akademik biasa, melainkan untuk menyiapkan surat pengajuan takziyah. Ibu dari Ustadzah Siti Khadijah, guru Madrasah Aliyah sekaligus staf Sekretariat Pendidikan Al-Zaytun, telah berpulang ke Rahmatullah di Balaraja, Tangerang.
Dengan sigap, Ketua Majelis Guru mengajukan izin kepada Syaykh Al Zaytun (Pimpinan Ma'had) sekaligus memohon dana takziyah untuk keluarga almarhumah. Kejadian ini bukanlah hal asing di Ma'had Al-Zaytun; ini adalah sebuah tradisi, sebuah ritual kemanusiaan yang telah mengakar kuat, menyatukan hati dalam duka, dan memperkuat tali persaudaraan.
Takziyah: Lebih dari Tradisi, Sebuah Pilar Kemanusiaan di Al-Zaytun
Mungkin terlintas pertanyaan, "Mengapa takziyah disebut tradisi di Al-Zaytun?" Bukan semata ritual takziyahnya, melainkan cara pelaksanaannya yang telah menjadi kebiasaan kolektif yang tak terpisahkan dari denyut nadi Ma'had Al-Zaytun. Tradisi, dalam kacamata sosiologi, adalah pola kebiasaan yang diwariskan dan terus-menerus dijalankan oleh suatu kelompok sosial, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Koentjaraningrat (2009), tradisi adalah penanda jati diri, perekat komunitas.
Di Al-Zaytun, tradisi takziyah bukan sekadar basa-basi, melainkan telah menjelma menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem nilai kolektif. Ketika seorang anggota komunitas, atau anggota keluarganya, wafat, unit tempat ia bernaung segera melaporkan kabar duka kepada pimpinan Ma'had. Selanjutnya, perwakilan dari unit tersebut bersama unsur Yayasan akan hadir sebagai wujud penghormatan terakhir dan pengantaran doa tulus.
Lebih dari itu, Yayasan Al-Zaytun memiliki kebijakan memberi santunan takziyah. Hebatnya lagi, masing-masing unit di Al-Zaytun secara mandiri menginisiasi pembentukan kas internal, salah satunya secara khusus dialokasikan untuk kegiatan takziyah. Ini adalah bukti nyata bagaimana nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan ditanamkan secara sistemik dan kultural dalam institusi ini. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan empati dan kepedulian yang mendalam.
Dalam ajaran Islam, takziyah adalah manifestasi nyata solidaritas keimanan. Rasulullah SAW bersabda:
"Barang siapa yang menghadiri jenazah sampai dishalatkan, maka baginya satu qirath. Dan barang siapa yang menyaksikannya hingga dimakamkan, maka baginya dua qirath." (HR. Bukhari dan Muslim)
"Satu qirath" yang digambarkan sebesar Gunung Uhud ini menegaskan betapa besar balasan bagi siapa pun yang hadir, berempati, dan mendoakan sesama muslim dalam duka. Takziyah, oleh karenanya, bukan sekadar rutinitas atau formalitas sosial, melainkan sebuah ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah, menguatkan ikatan batin antarsesama.
Takziyah: Perekat Sosial dan Bukti Cinta Sejati
Lebih dari sekadar kewajiban spiritual, takziyah telah menjadi perekat hubungan sosial yang kuat di Al-Zaytun. Mengutip teori relasi sosial Emile Durkheim (1893), kegiatan semacam ini memperkuat solidaritas mekanik, di mana kesatuan dibangun atas dasar nilai dan keyakinan bersama dalam komunitas yang homogen. Di tengah kesedihan, kehadiran sahabat sejati adalah penawar lara. Jika kehadiran dalam pesta bisa jadi hanya formalitas, maka kehadiran dalam musibah adalah wujud kasih sayang yang tulus dan sejati. Al-Zaytun telah berhasil menumbuhkan budaya ini—kehadiran yang bukan semata-mata kewajiban, melainkan panggilan hati yang penuh cinta.
Di Maqbarah Al-Zaytun, sebuah ruang khusus tersedia untuk proses pemakaman yang dikelola secara yayasan. Mulai dari penggalian lahan, pengkafanan, penguburan, hingga tahlilan, semuanya dilakukan secara gotong royong. Tidak ada perhitungan materi, tak ada kontrak jasa. Semua hadir karena satu ikatan: cinta dan kepedulian. Ini adalah manifestasi nyata dari nilai "tak ada hitungan rupiah, tak ada kontrak jasa" yang tertanam kuat dalam jiwa civitas Al-Zaytun.
Bagi keluarga yang berada jauh dari kampus, pihak Ma'had akan mengkoordinasikan pengantaran jenazah. Jika keluarga menghendaki jenazah dimakamkan di kampung halaman, Ma'had siap menyediakan ambulans beserta sopir dan biaya operasionalnya. Bahkan, jika keluarga berhalangan hadir, civitas Al-Zaytun tetap setia mengantar jenazah hingga liang lahat, sebagai bentuk penghormatan dan kasih terakhir yang tak terhingga.
Dan tradisi itu tak berhenti di pemakaman. Setiap Jumat, seusai salat Jumat, digelar salat ghaib bagi siapa saja dari keluarga besar Al-Zaytun yang telah wafat. Ini adalah ritual yang tak pernah terputus sejak Ma'had ini berdiri. Sebuah kenangan abadi, doa yang terus mengalir, dan penguat ukhuwah lintas ruang dan waktu. Ini adalah bukti bahwa kematian tidak memutus ikatan, melainkan justru memperkuatnya dalam untaian doa dan ingatan.
Epilog: Di Balik Duka, Cahaya Persaudaraan yang Abadi
Kematian memang akhir dari perjalanan di dunia, namun bukan akhir dari cinta, persahabatan, atau ikatan persaudaraan. Tradisi takziyah di Al-Zaytun telah mengajarkan kita tentang kesetiaan yang tak lekang oleh waktu, tentang kepedulian yang tidak berhenti di batas hidup. Ini bukan hanya tentang mengantar jasad ke peristirahatan terakhir, tapi tentang menemani jiwa dengan doa, menghadirkan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan, dan meneguhkan bahwa dalam duka pun, kita tak pernah sendiri.
Di Al-Zaytun, duka bukan milik satu orang. Ia menjadi milik bersama, dipikul bersama, dirasakan bersama. Dan karenanya, ia tak terasa sepi, justru menjadi momen terjalinnya tali kasih yang semakin erat. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (QS. Al-Hujurat: 10)
Persaudaraan sejati hidup bukan di saat tawa riang pesta, tetapi ketika air mata menetes dalam kesedihan, dan tangan sahabat hadir menguatkan, merangkul dengan kehangatan. Tradisi takziyah di Al-Zaytun adalah pelajaran abadi tentang makna sejati menjadi manusia tentang empati, tentang gotong royong, tentang cinta yang tak terbatas. Semoga tradisi luhur ini terus menginspirasi, menjadi mercusuar kemanusiaan yang tak pernah padam, mengingatkan kita bahwa dalam setiap kehilangan, ada kekuatan persaudaraan yang tak akan pernah mati.