(Mengenal Tradisi-tradisi di Al Zaytun)
Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Al-Zaytun, sebuah ekosistem pendidikan yang tak hanya berfokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga menyiapkan segala hajat hidup secara komprehensif. Di balik megahnya arsitektur dan semaraknya kegiatan belajar-mengajar, Syaykh Al-Zaytun menaruh perhatian mendalam pada setiap sisi kehidupan warganya. Dari penyiapan bahan makanan, pengolahan, fasilitas pendidikan, sarana olahraga dan seni, tempat peribadatan, hingga sarana kesehatan, semuanya terintegrasi dalam satu visi. Bahkan, hingga tempat peristirahatan terakhir, atau yang mereka sebut Maqbarah, tak luput dari sentuhan perencanaan yang matang.
Maqbarah, dari akar kata qabara yang berarti mengubur, adalah sebuah tempat penguburan atau pemakaman. Dalam konteks Al-Zaytun, Maqbarah bukan sekadar lahan kosong, melainkan bagian dari fasilitas yang disiapkan khusus untuk civitas akademika dan keluarga besar Al-Zaytun. Sebuah pilihan yang disediakan, bukan kewajiban, bagi mereka yang berkehendak untuk dikebumikan di sana. Ini adalah bentuk komitmen Ma'had dalam melayani warganya dari buaian hingga liang lahat, memastikan setiap aspek kehidupan, bahkan di penghujung usia, terjaga dengan baik.
Layanan Duka yang Mengakar: Ketika Solidaritas Bersemi di Perpisahan
Di Al-Zaytun, prosesi pemakaman bukan sekadar ritual, melainkan manifestasi nyata dari nilai solidaritas dan kemanusiaan yang dijunjung tinggi. Ada Standar Operasional Prosedur (SOP) yang terencana dengan baik, memastikan setiap tahapan berlangsung khidmat dan tanpa beban bagi keluarga duka.
Proses diawali dengan permohonan dari keluarga almarhum yang ditujukan kepada Syaykh Al-Zaytun, disampaikan melalui pimpinan unit masing-masing. Ini adalah bentuk persetujuan dan penghormatan atas pilihan terakhir almarhum. Setelah persetujuan Syaykh didapatkan, koordinasi segera dilakukan dengan tim pembangunan untuk menentukan titik lokasi pemakaman. Tak lama berselang, tim dari karyawan Al-Zaytun sigap melakukan penggalian liang lahat menggunakan alat berat (beko), sementara tim lain menyiapkan papan penutup, papan nisan, dan kotak jenazah. Semua bergerak cepat, efisien, namun tetap sarat makna.
Jika almarhum wafat di dalam kampus, pengurusan jenazah dilaksanakan di Perkhidmatan Kesehatan, meliputi proses memandikan dan mengkafani. Bila ada permintaan untuk disalatkan bersama civitas, salat jenazah akan digelar di ruang perkhidmatan atau Masjid Al-Hayat, menghadirkan ribuan jamaah yang mendoakan. Jenazah kemudian dihantar menggunakan ambulans milik Al-Zaytun, diikuti oleh para pelayat yang disiapkan kendaraan kecil atau bus, memastikan semua bisa turut mengantar hingga peristirahatan terakhir.
Prosesi penguburan dipimpin oleh salah seorang eksponen yauasan. Dengan mengucap basmalah, petugas secara perlahan memasukkan jenazah ke liang lahat, kemudian ditutup dengan papan. Selama pengurugan tanah, lantunan doa pengantar jenazah membahana: "Minha khalaqnakum wafiha nu'idukum waminha nukhrijukum taaratan ukhra." Sebuah kutipan dari Surah Thaha ayat 55, yang memiliki makna mendalam: "Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan dari padanya pula Kami akan mengeluarkan kamu sekali lagi." Doa ini mengingatkan setiap yang hadir akan siklus kehidupan dan kematian, serta kebesaran Sang Pencipta.
Setelah prosesi penguburan selesai, pimpinan upacara pemakaman memberikan kesempatan kepada perwakilan keluarga untuk menyampaikan sambutan. Dilanjutkan dengan nasihat dari perwakilan eksponen, yang menguatkan hati keluarga dan seluruh yang hadir. Acara ditutup dengan doa bersama, memohon ampunan dan rahmat bagi almarhum. Setelah itu, semua kembali ke tempat tugas masing-masing, membawa serta hikmah dan pelajaran tentang kematian.
Yang paling mengharukan adalah, semua prosesi pemakaman ini dilaksanakan secara ta'awuniyah (tolong-menolong) di antara keluarga besar Al-Zaytun. Tidak ada biaya sedikit pun yang dibebankan kepada keluarga almarhum. Semua dilakukan sebagai wujud solidaritas murni dan kemanusiaan yang tak terhingga. Ini bukan sekadar layanan, melainkan sebuah pernyataan cinta, sebuah bukti bahwa di Al-Zaytun, duka bukan milik pribadi, melainkan duka bersama yang dipikul dengan bahu-membahu.
Epilog: Jejak Kasih yang Tak Terkubur
Di Maqbarah Al-Zaytun, di bawah naungan pepohonan yang teduh, terukir kisah-kisah perpisahan yang diselimuti kasih dan persaudaraan. Ini adalah tempat di mana jasad kembali ke asal, namun jejak kebaikan dan cinta tetap hidup, abadi dalam ingatan. Maqbarah Al-Zaytun bukan hanya sekadar tempat pemakaman, melainkan sebuah cermin dari nilai-nilai luhur yang ditanamkan di setiap sudut Ma'had: kepedulian, kebersamaan, dan kemanusiaan.
Setiap liang lahat yang digali, setiap lantunan doa yang terucap, adalah bukti bahwa di Al-Zaytun, kehidupan tak berhenti pada kematian. Justru, kematian menjadi jembatan untuk semakin mempererat ikatan, untuk saling menguatkan, dan untuk merenungkan makna sejati dari keberadaan kita di dunia. Tradisi ta'awuniyah dalam prosesi duka ini adalah pengingat bahwa di tengah kerapuhan hidup, kita tidak pernah sendiri. Selalu ada tangan yang siap merangkul, hati yang siap menguatkan, dan doa yang tak pernah putus.
Semoga kisah dari Maqbarah Al-Zaytun ini menginspirasi kita semua, bahwa dalam setiap perpisahan, kita dapat menemukan keindahan dalam kebersamaan, dan dalam setiap duka, kita dapat menumbuhkan benih-benih cinta yang tak akan pernah mati, mengabadi bersama tanah tempat kita kembali.