Friday, 01 August 2025

Elegansi Berbusana di Al-Zaytun: Antara Identitas Nasional dan Nilai Universal

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 (Mengenal tradisi-tradisi di Al Zaytun)

Oleh Ali Aminulloh

 

Melampaui Stereotip Pesantren: Tradisi Jas dan Dasi di Al-Zaytun

lognews.co.id, Indonesia - Ketika mendengar kata “pesantren,” yang terlintas dalam benak kebanyakan orang mungkin adalah gambaran santri bersarung, berbaju koko, dan mengenakan peci putih. Namun, gambaran tersebut tak berlaku di Ma’had Al-Zaytun. Lembaga pendidikan ini menghadirkan suasana yang berbeda—elegan, modern, dan percaya diri. Di sini, pelajar dan civitas akademika terbiasa mengenakan jas dan dasi dalam keseharian mereka, bukan hanya dalam kegiatan formal seperti shalat Jumat, Shalat Idulfitri, atau peringatan hari besar lainnya, tetapi juga dalam aktivitas rutin seperti belajar, menerima tamu, hingga bertugas di berbagai kegiatan.

Tradisi ini bukan sekadar penampilan luar, melainkan refleksi dari nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini. Berbusana jas dan dasi tidak hanya mencerminkan kerapihan dan elegansi, tetapi juga membangun rasa percaya diri, profesionalitas, dan kesiapan memasuki ruang sosial yang lebih luas. Dengan pakaian formal ini, para santri juga mengenakan songkok khas Al-Zaytun—berukuran tinggi, sekitar 11 cm, dengan bentuk unik yang hanya tersedia di toko resmi lembaga. Songkok ini mengingatkan pada gaya Bung Karno yang penuh wibawa, sebagaimana dikatakan langsung oleh Syaykh Panji Gumilang: “Ini songkok gaya Sukarno.”

 

Menyoal Sarung dan Koko: Antara Tradisi, Sejarah, dan Identitas

Al-Zaytun tidak menafikan busana yang umum diasosiasikan dengan santri seperti sarung dan baju koko, namun memilih pendekatan kultural yang lebih mendalam dan historis. Ketika sebagian pihak mengkritik suasana Al-Zaytun yang “tidak seperti pesantren,” karena pakaiannya. Kita justru menawarkan refleksi lebih jauh: apakah sarung dan koko benar-benar identik dengan Islam?

Secara historis, sarung berasal dari Yaman dengan nama futah atau izar, yang kemudian menyebar ke Nusantara melalui para pedagang Gujarat pada abad ke-14 atau ke-15. Sarung juga digunakan oleh masyarakat Hindu Bali dalam upacara keagamaan, serta menjadi bagian dari pakaian adat masyarakat Bugis, Madura, dan Kejawen. Sementara itu, baju koko sebenarnya merupakan warisan budaya Tionghoa, dikenal sebagai tu-khim atau changshan. Nama “koko” sendiri berasal dari kebiasaan masyarakat Tionghoa yang kerap mengenakannya—dipanggil “engkoh-engkoh”, sehingga kedengarannya “koko”—sehingga baju itu disebut baju koko.

Ada pula yang mengaitkannya dengan budaya Jawa, khususnya modifikasi baju "Surjan" yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga—mengubah baju berlengan pendek menjadi panjang. Dari sinilah muncul istilah “baju taqwa”. Namun klaim bahwa sarung dan koko adalah busana khas Islam tidak sepenuhnya dapat dibuktikan secara historis. Al-Zaytun memilih untuk tidak terjebak dalam klaim simbolik, melainkan membangun kesadaran akan substansi: bahwa pakaian adalah bagian dari ekspresi nilai dan martabat, bukan sekadar label keislaman semu.

IMG 20250709 WA0022

Berpakaian Elegan sebagai Cerminan Kepribadian dan Komitmen Kebangsaan

Sebagai pusat pendidikan yang menanamkan nilai-nilai toleransi, perdamaian, dan budaya keindonesiaan, Al-Zaytun mendorong santri dan civitasnya untuk tampil dengan busana yang merefleksikan identitas nasional. Jas, dasi, dan songkok bukan hanya simbol kesopanan, tetapi juga warisan budaya kebangsaan. Lihatlah para pemimpin bangsa ketika dilantik, para wakil rakyat saat diambil sumpah jabatannya—mereka berpakaian dengan jas, dasi, dan songkok. Di level internasional pun, busana ini telah menjadi norma universal yang melintasi batas-batas budaya dan agama.

Dengan mengenakan busana tersebut secara konsisten, Al-Zaytun bukan hanya melestarikan simbol nasional, tetapi juga menanamkan sikap profesional, disiplin, dan berwibawa. Pakaian yang dikenakan menjadi bagian dari pendidikan karakter dan nilai yang tertanam secara utuh—bahwa menjadi muslim yang baik juga berarti menjadi warga negara yang anggun, beradab, dan siap hadir di forum mana pun dengan penuh percaya diri.

IMG 20250709 WA0023

Epilog: Busana Bukan Sekadar Penampilan, tetapi Pernyataan Nilai

Apa yang ditanamkan Al-Zaytun dalam urusan berpakaian bukan sekadar perkara gaya atau selera. Ini adalah pilihan nilai. Pilihan untuk tidak berhenti pada simbol-simbol luar, tetapi menggali kedalaman makna budaya dan sejarah. Dalam dunia yang kerap terjebak pada formalitas kosong, jas dan dasi di Al-Zaytun menjadi simbol keberanian untuk tampil beda berwibawa namun tetap membumi, modern namun tetap menjunjung akar kebangsaan.

Dengan pakaian elegan dan penuh makna ini, para santri dibentuk bukan hanya untuk menguasai ilmu, tetapi juga siap tampil sebagai pemimpin masa depan yang percaya diri, toleran, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Karena sesungguhnya, kemuliaan itu tak hanya terpancar dari lisan dan perbuatan, tetapi juga dari cara kita memilih untuk tampil di hadapan dunia.