(Seri mengenal tradisi-tradisi Al Zaytun)
Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Kekayaan budaya Indonesia tak terhingga, salah satunya terwujud dalam kesenian daerah. Dari sekian banyak warisan adiluhung, karawitan menempati posisi istimewa. Seni musik Jawa ini bukan sekadar melodi, melainkan sebuah cerminan sejarah, filosofi, dan pembentuk karakter bangsa. Lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam melestarikan budaya ini, dan Mahad Al Zaytun telah menunjukkan komitmen luar biasa dalam upaya tersebut.
Jejak Sejarah Karawitan: Dari Keraton hingga Pembentuk Karakter Bangsa
Karawitan memiliki sejarah yang sangat panjang, diperkirakan telah ada sejak abad ke-8 Masehi. Perkembangannya tak bisa dilepaskan dari lingkungan keraton, serta pengaruh kuat dari ajaran Hindu-Buddha dan Islam. Pada masa kerajaan-kerajaan kuno, sekitar abad ke-8 hingga ke-10 M, karawitan sudah berkembang pesat. Puncaknya, di era Kerajaan Majapahit (abad ke-13 hingga ke-15 M), karawitan bahkan menjadi simbol kekuasaan dan kebudayaan.
Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa karawitan adalah budaya asli Indonesia yang telah banyak berkiprah dalam pembentukan karakter masyarakat. Melestarikan seni ini bukan hanya tentang mempertahankan akar budaya, tetapi juga tentang membentuk karakter bangsa yang luhur. Karawitan mengajarkan harmoni, kelembutan, kesederhanaan, dan keselarasan dengan alam – nilai-nilai yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat modern. Oleh karena itu, sudah selayaknya budaya ini terus dipelihara dan dipertahankan.
Dedikasi Al Zaytun dalam Pengembangan Karawitan
Mahad Al Zaytun, sejak awal berdirinya, telah mengambil peran aktif dalam pelestarian dan pengembangan budaya karawitan. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan pendidikan Al Zaytun, yaitu mendidik siswa agar berkesenian yang memadai. Komitmen ini diwujudkan melalui program latihan karawitan yang sangat terstruktur dan intensif.
Menurut Hartono, S.Pd., penanggung jawab Seni Karawitan, latihan diikuti oleh berbagai kalangan: pelajar, mahasiswa, guru, warga belajar PKBM, dan karyawan, dengan jadwal yang disesuaikan. Santri tingkat MI berlatih seminggu sekali pada Selasa pagi sebagai bagian dari kurikulum formal di luar kelas. Untuk santri MTs, pelatihan dilaksanakan setiap hari mulai pukul 14.30 hingga 16.00. Santri Aliyah berlatih setiap hari pukul 18.30 hingga 19.30, sementara mahasiswa berlatih dua kali seminggu, pada Selasa dan Rabu pukul 14.30 hingga 16.00, bersamaan dengan santri MTs. Warga belajar PKBM Al Zaytun berlatih sepekan sekali, setiap hari Sabtu sore. Bahkan, karyawan dan guru pun turut berlatih setiap hari pukul 16.00 hingga 17.00.
Seni karawitan di Al Zaytun tidak hanya untuk latihan, tetapi juga ditampilkan dalam berbagai momen penting. Pertunjukan karawitan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan atau festival seni budaya maupun event-event penting lainnya. Tak jarang pula, seni karawitan ini tampil memukau dalam acara hajatan pernikahan, membawa nuansa tradisional yang kental.
Sentuhan Syaykh Al Zaytun: Karawitan sebagai Media Pendidikan
Perhatian Syaykh Al Zaytun terhadap seni karawitan ini sangat besar. Hartono menjelaskan, Syaykh bahkan telah menciptakan beberapa lagu yang diiringi karawitan. Pada tahun 2010, beliau mengarang tiga lagu: "Nowo Muspro," "Ta'awudzain," dan "Kaweruh Utomo." Lagu "Nowo Muspro" mengisahkan sembilan hal yang menyebabkan kerusakan beserta solusinya, merujuk pada tafsir Quran Surat At-Taubah ayat 24. "Ta'awudzain" menjabarkan Quran Surat Al-Falaq dan An-Nas, sementara "Kaweruh Utomo" menguraikan kitab Aqidatul Awam.
Tak berhenti di situ, pada tahun 2011, Syaykh Al Zaytun mengurai Surat Al-Baqarah ayat 163 dan Al-Fath ayat 29 dalam pesan lagu karawitan menggunakan cengkok Gambuh, menunjukkan kedalaman pemahaman beliau akan perpaduan seni dan agama. Saat pandemi, beliau kembali menciptakan dua lagu: "Dzikir Topo Broto" yang berisi ketauhidan tingkat tinggi(la ilaha illallah al malikul al-haqqu al-mubin. Muhammadun rasulullah shadiqu al wali al amin) dan bahkan mengubah lirik lagu "Tombo Ati" dengan nada yang berbeda.
Untuk memastikan keseriusan dan kualitas latihan, Syaykh Al Zaytun langsung mengontrol proses latihan secara rutin. Awalnya, latihan dilaksanakan di Masyikah, kediaman Syaykh, dan kini beralih ke lantai 2 Masjid Rahmatan Lil Alamin, menunjukkan komitmen yang tak tergoyahkan.
Karawitan di Mahad Al Zaytun bukan sekadar seni, melainkan sarana mewujudkan visi besar. Lebih dari sekadar nada dan irama, karawitan menjadi jembatan untuk mengimplementasikan Al Zaytun sebagai pusat pendidikan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian, yang pada akhirnya akan mengantarkan masyarakat menuju kehidupan yang sehat, cerdas, dan manusiawi. Melalui setiap alunan gamelan, setiap nada yang mengalir, Al Zaytun tak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menanamkan benih-benih kebaikan, harmoni, dan kemanusiaan.
Dan ketika suara gamelan itu menggema, membelah keheningan senja di Mahad Al Zaytun, bukan hanya melodi yang terdengar. Ada bisikan jiwa-jiwa yang menyatu dalam keindahan, ada janji untuk terus merawat peradaban, dan ada harapan akan masa depan yang lebih damai, seindah alunan karawitan yang tak lekang oleh waktu. Ini adalah persembahan dari Al Zaytun: harmoni dalam nada, harmoni dalam kehidupan.