Seri mengenal tradisi-tradisi di Al - Zaytun
Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Sabtu mendatang, 2 Muharam 1447 H atau bertepatan dengan 28 Juni 2025, Mahad Al-Zaytun di Indramayu kembali akan menggelar perhelatan akbar memperingati Tahun Baru Hijrah. Peringatan ini lazimnya berlangsung pada 1 Muharam, namun karena bertepatan dengan hari Jumat—hari yang sarat makna bagi umat Islam—acara diundur ke hari Sabtu. Keputusan ini bukan semata teknis, tetapi mencerminkan kebijaksanaan dalam memaknai momen keagamaan.
1. Tahun Baru Hijrah Buksn Sekadar Seremoni
Bagi sebagian masyarakat, Tahun Baru Hijrah mungkin berlalu begitu saja—tanpa gegap gempita, tanpa sorotan media. Bandingkan dengan Tahun Baru Masehi yang dirayakan meriah dengan pesta kembang api dan konser musik. Namun di Al-Zaytun, 1 Muharram atau yang akrab disebut 1 Syuro, adalah peristiwa besar. Ia tidak hanya dirayakan, tetapi dimaknai. Ia bukan sekadar penanda waktu, melainkan momentum reflektif untuk menumbuhkan nilai-nilai agamis, spiritual, dan kebangsaan secara utuh.
Sejak pertama kali digelar pada 1999, peringatan 1 Muharram di Al-Zaytun telah menjelma menjadi panggung kebudayaan dan kebangsaan. Di sinilah titik temu antara Islam dan nilai-nilai kemanusiaan universal—sebuah tradisi yang menyatu antara doa dan wacana kebangsaan. Bahkan, dari waktu ke waktu, perayaan ini berkembang menjadi ruang strategis di mana para tokoh lintas latar belakang bersua, berdiskusi, dan membangun sinergi demi Indonesia yang lebih baik.
2. Masjid Rahmatan Lil Alamin: Titik Temu Umat dan Gagasan
Puncak dari peringatan ini selalu berlangsung di Masjid Rahmatan Lil Alamin—nama yang mencerminkan semangat universalitas Islam. Di sinilah ruang spiritual dan intelektual bertaut. Masjid ini bukan hanya tempat berdoa, tetapi juga ruang perjumpaan para tokoh lintas iman: dari pendeta, pastor, biksu, alirsn kepercayaan, hingga pemuka agama Khonghucu dan Yahudi. Mereka tidak hanya hadir sebagai tamu, tetapi sebagai bagian integral dari dialog kebangsaan.
Di panggung masjid ini pula sering terdengar ungkapan tulus dari para pemuka non-Muslim: “Seumur hidup, baru kali ini saya berpidato di masjid.” Ungkapan ini bukan sekadar komentar, tetapi testimoni akan kuatnya pancaran inklusivitas dari Al-Zaytun. Suasana akrab, egaliter, dan sarat semangat persaudaraan menjadi atmosfer yang selalu dirindukan. Ini bukan retorika semata, melainkan praktik nyata dari cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang bhinneka dan bersatu.
Syaykh Al-Zaytun, sebagai pemimpin moral dan intelektual lembaga ini, secara konsisten mengingatkan bahwa makna kebersamaan tidak cukup jika hanya berhenti pada "toleransi." Sebab, toleransi masih menyiratkan adanya garis batas antara "aku" dan "kamu." Yang dibutuhkan adalah kesetaraan. “Aku dan Kamu adalah sama. Sama-sama manusia ciptaan Tuhan, sama-sama bangsa Indonesia.” Inilah filsafat hidup yang terus disuarakan—kesetaraan yang bukan hanya ide, tapi menjadi ruh dalam setiap langkah bersama.
3. Kebangsaan yang Dihidupkan Lewat Praktik Nyata
Untuk memperkuat simpul-simpul kebangsaan, setiap rangkaian acara di Al-Zaytun diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ini bukan sekadar formalitas, tapi menjadi doa kebangsaan yang menggetarkan jiwa. Disusul dengan lagu-lagu nasional lainnya, suasana menjadi syahdu namun membakar semangat: semangat untuk menjaga Indonesia sebagai rumah bersama yang damai dan maju.
Tak hanya para tokoh nasional, para civitas akademika Al-Zaytun juga hadir penuh antusias: dari para santri, guru, pengelola pendidikan, orang tua, hingga masyarakat sekitar. Bagi mereka, ini bukan sekadar acara tahunan, tapi ajang pembelajaran langsung tentang makna persatuan. Inilah pendidikan karakter yang tidak dituliskan di papan tulis, tetapi dihayati melalui perjumpaan nyata dan dialog lintas batas.
Al-Zaytun dengan bangga menyandang moto: “Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian Menuju Masyarakat Sehat, Cerdas, dan Manusiawi.” Moto ini bukan slogan kosong, melainkan arah gerak yang diwujudkan dalam setiap program dan peristiwa. Tahun Baru Hijrah bukan semata ritual keagamaan, tapi momentum untuk menyegarkan komitmen terhadap cita-cita kebangsaan.
Epilog: Dari Syuro Menuju Indonesia Baru
Di tengah dunia yang kian gaduh oleh polarisasi dan perpecahan, Mahad Al-Zaytun justru tampil sebagai oase yang menyejukkan. Peringatan 1 Muharram di sini bukan sekadar agenda rutin, tetapi suluh bagi bangsa. Ia menghadirkan refleksi, mempertemukan gagasan, dan mengikat simpul-simpul kebersamaan dalam bingkai harmoni.
Dalam dunia yang haus akan makna, Al-Zaytun menawarkan pendekatan baru dalam merayakan waktu: bukan dengan pesta pora, tetapi dengan doa, dialog, dan dedikasi. Ini adalah wajah Indonesia yang kita rindukan—Indonesia yang setara, damai, dan saling menguatkan.
Semoga tradisi 1 Syuro di Al-Zaytun terus menjadi inspirasi bagi kita semua dalam menapaki masa depan. Bahwa dalam setiap langkah, selalu ada ruang untuk bersatu, berdialog, dan mengukir harmoni. Karena bangsa yang besar bukan hanya dibentuk oleh sejarahnya, tetapi juga oleh cara ia merayakan harapannya. Dan di Al-Zaytun, harapan itu terus dijaga—dengan cinta, akal, dan iman.