(Refleksi Hari HAM Sedunia)
Oleh Ali Aminulloh
Al-Zaytun Memberi Contoh: Membumikan HAM Melalui Pendidikan dan Perilaku Sehari-hari
Setiap 10 Desember, dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM). Seringkali, peringatan ini hanya hadir dalam simposium megah dan kuliah umum. Namun, narasi ini perlu digeser. HAM bukanlah sekadar jargon di ruang kuliah atau dokumen yang tersimpan rapi. Ia harus menjadi denyut nadi kehidupan kita.
Inilah inti dari pandangan Syaykh Al-Zaytun, yang telah lama melihat HAM bukan sebagai teori abstrak, melainkan sebagai praktik perilaku sehari-hari. Pandangan ini sangat relevan dengan semangat kelahiran Deklarasi Universal HAM yang merupakan respons terhadap kegagalan moral kolektif. HAM yang sejati harus tercermin dalam interaksi kita, cara kita memperlakukan yang lemah, dan bagaimana kita menjaga lingkungan.

Bukan Seruan Semata: HAM dalam Tindakan Nyata
Penekanan ini selaras sempurna dengan lirik yang diusung oleh Hymne Politeknik Tanah Air di bawah naungan Al-Zaytun:
“Tak perlu bendera atau suara/
Cukup langkah kecil yang bermakna/
Kemanusiaan bukan seruan semata/
Ia hadir dalam tindakan nyata/
Menanam kesadaran, menumbuhkan kemanusiaan/
dari hati yang jernih dan terbuka/
lahir dunia yang saling menjaga.”
Lirik ini merangkum filosofi fundamental: Efektivitas HAM diukur dari tindakan, bukan dari retorika. Tindakan nyata itu bisa sesederhana menghormati hak orang lain untuk berpendapat, bersikap adil tanpa memandang status, atau menjaga kebersihan lingkungan sebagai wujud tanggung jawab ekologis.
Ketika Kemanusiaan Diuji: Tantangan HAM Global dan Nasional
Di panggung dunia, kita menyaksikan krisis kemanusiaan yang akut: konflik bersenjata, diskriminasi berbasis ras, agama, dan gender, serta krisis pengungsi global. Kebebasan berpendapat dan berekspresi semakin tertekan di banyak negara.
Di Indonesia, meski telah memiliki landasan kuat, pekerjaan rumah terkait HAM masih menumpuk. Persoalan klasik seperti penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang mandek, ketidaksetaraan akses terhadap keadilan dan pendidikan, serta isu-isu agraria yang sering mengorbankan hak-hak masyarakat adat, masih menjadi tantangan besar. Lebih lanjut, munculnya polarisasi sosial juga mengancam toleransi dan hak untuk hidup berdampingan secara damai.
Menggali Spirit Kelahiran: Panggilan Sejarah yang Relevan
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) lahir dari rahim penderitaan besar Perang Dunia II. Ia adalah pengakuan kolektif bahwa kekejaman tidak boleh terulang dan bahwa setiap individu memiliki martabat yang melekat yang harus dilindungi.
Semangat yang perlu kita tarik ke masa kini adalah semangat universalitas, non-diskriminasi, dan saling ketergantungan. HAM bukanlah sekadar dokumen hukum; ia adalah kompas moral yang menuntun peradaban. Semangat ini harus diimplementasikan melalui Aksi Nyata (menjalankan kewajiban menghormati hak orang lain) dan Inklusi (memastikan kelompok rentan tidak terpinggirkan).
Menghadapi Bayang-Bayang Baru: Tantangan HAM di Era Digital
Era digital menawarkan peluang besar, tetapi juga menghadirkan tantangan baru yang mengkhawatirkan:
• Pengawasan Massal: Pelanggaran hak privasi melalui pengumpulan data pribadi yang masif.
• Misinformasi dan Ujaran Kebencian: Penyebaran disinformasi yang cepat, mengancam hak atas informasi yang benar dan memicu diskriminasi.
• Bias Algoritma: Sistem kecerdasan buatan (AI) yang diskriminatif berpotensi memperkuat ketidaksetaraan sosial yang ada.
HAM di era digital kini mencakup hak atas konektivitas, hak untuk dilupakan (privasi data), dan hak untuk bebas dari manipulasi digital.
Pendidikan Sebagai Fondasi Peradaban HAM: Belajar dari Al-Zaytun
Jawaban terhadap tantangan HAM yang terus berkembang terletak pada pendidikan. HAM harus ditanamkan bukan sebagai mata pelajaran tambahan, tetapi sebagai kesadaran hidup.
Di sinilah peran lembaga pendidikan seperti Mahad Al-Zaytun menjadi sangat relevan. Sejak awal, Al-Zaytun telah menempatkan HAM sebagai inti filosofi pendidikannya, yang terangkum dalam moto: "Pusat Pendidikan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian Menuju Masyarakat Sehat, Cerdas, dan Manusiawi."
Secara konsisten, Syaykh Al-Zaytun memimpin upaya membangun peradaban yang berakar pada HAM melalui pendidikan sejak dini. Di Al-Zaytun, materi HAM diajarkan secara khusus dan mendalam. Bahkan, setiap akhir satuan pendidikan, pelajar menerima bimbingan terpadu di mana HAM menjadi salah satu materi wajib. Hal ini menunjukkan komitmen untuk mencetak lulusan yang tidak hanya cerdas intelektual, tetapi juga berkesadaran kemanusiaan tinggi.
Tiga Pilar Kesadaran untuk Masa Depan HAM
Masa depan HAM sangat bergantung pada kemampuan kita menanamkan tiga pilar kesadaran, yang telah dipraktikkan oleh Al-Zaytun:
1. Kesadaran Filosofis: Menumbuhkan pemahaman mendasar bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama—fondasi non-diskriminasi.
2. Kesadaran Ekologis: Memahami bahwa hak untuk hidup secara layak terkait erat dengan keberlanjutan lingkungan. Merawat bumi adalah bagian integral dari menjaga hak generasi mendatang.
3. Kesadaran Sosial: Menggerakkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap sesama, terutama kelompok yang terpinggirkan, mewujudkan keadilan sosial.
Epilog: Menumbuhkan Kemanusiaan Sejati
Memperingati Hari HAM bukanlah sekadar upacara, melainkan panggilan untuk bertindak setiap hari. Hak Asasi Manusia sesungguhnya adalah kaca yang memantulkan kemanusiaan kita sendiri. Ketika kita melihat pelanggaran HAM, kita melihat kegagalan kolektif kita untuk mengakui martabat sesama.
Filosofi Syaykh Al-Zaytun dan pesan dari Hymne Politeknik Tanah Air adalah panduan kita: Kemanusiaan harus hadir dalam tindakan nyata.
Melalui pendidikan yang transformatif—yang mengajarkan kesadaran filosofis, ekologis, dan sosial—kita menanamkan benih kemanusiaan sejati. Al-Zaytun membuktikan bahwa sekolah dapat menjadi laboratorium perdamaian.
Mari kita jadikan 10 Desember sebagai momentum untuk menegaskan kembali bahwa HAM adalah udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan fondasi rumah tempat kita hidup bersama. Tugas kita adalah menjaganya, melindunginya, dan memastikan bahwa setiap manusia dapat merasakannya sebagai kebutuhan sehari-hari yang tak terpisahkan, dimulai dari hati yang jernih dan langkah kecil yang bermakna.


