Oleh: Latief WeHa
lognews.co.id - Isu mengenai mega korupsi di Indonesia kembali menjadi sorotan tajam publik, bahkan memunculkan istilah satir yang kini viral: "Klasemen Liga Korupsi Indonesia."
Istilah ini digunakan untuk memeringkat kasus-kasus korupsi dengan nilai kerugian negara yang fantastis, menunjukkan betapa parahnya situasi korupsi yang seolah menjadi "kompetisi" merugikan triliunan rupiah uang rakyat.
Skala Kerugian yang Mengerikan
Kasus-kasus yang mengisi "klasemen" ini bukan sekadar tindak pidana biasa, melainkan kejahatan kerah putih yang melibatkan jaringan luas dan dana yang merugikan negara dalam skala yang hampir tak terbayangkan.
Beberapa kasus besar yang sering disebut dalam daftar ini antara lain:
Kasus Korupsi PT Pertamina: Dugaan kerugian yang diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah, bahkan ada yang menyebut angkanya mendekati Rp 1 kuadriliun, terkait dengan tata kelola minyak mentah.
Kasus Korupsi PT Timah Tbk: Kasus ini mencuat dengan kerugian lingkungan dan negara yang secara total dihitung mencapai Rp 300 triliun, berkaitan dengan tata niaga komoditas timah.
Skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia): Kasus lama yang kerugiannya mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah, di mana dana talangan negara tidak dikembalikan.
Kasus Korupsi PT Asabri dan Jiwasraya: Korupsi di sektor asuransi dan dana pensiun yang merugikan negara masing-masing puluhan triliun rupiah.
Besaran kerugian ini melampaui kemampuan fiskal negara untuk membangun infrastruktur, meningkatkan layanan pendidikan, atau memperbaiki sistem kesehatan. Korupsi ini bukan hanya soal hilangnya uang, tetapi juga perampasan hak-hak dasar masyarakat miskin.
Akibat Buruk bagi Masa Depan
"Liga Mega Korupsi" ini mencerminkan beberapa masalah struktural yang mendalam:
Hukum yang Tumpul: Adanya kasus berulang dan kerugian yang semakin membesar menunjukkan penindakan hukum belum memberikan efek jera yang optimal. Hukuman yang dijatuhkan kerap dianggap tidak setimpal dengan kerugian yang ditimbulkan.
Lemahnya Integritas Sektor Publik dan BUMN: Banyak kasus terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya menjadi pilar ekonomi, menandakan celah integritas dan pengawasan yang kronis.
Kesenjangan Sosial: Dana triliunan yang seharusnya menjadi modal pembangunan justru mengalir ke kantong pribadi segelintir elite, memperlebar jurang kesenjangan sosial-ekonomi.
Pengungkapan kasus-kasus mega korupsi ini menjadi titik balik penting. Selain penindakan hukum yang tegas, diperlukan pula sebuah revolusi mental dan moral yang menyeluruh dalam berbangsa dan bernegara.
Menanam Kesadaran Menumbuhkan Kemanusiaan
Menghadapi tantangan korupsi yang masif, solusi jangka panjang tidak hanya terletak pada penindakan, tetapi juga pada pembangunan karakter dan moralitas bangsa.
Konsep inilah yang diusung oleh Syaykh Al-Zaytun, Syaykh AS. Panji Gumilang, melalui ajarannya yang berfokus pada pentingnya kesadaran dan kemanusiaan.
Dalam berbagai kesempatan, Syaykh Panji Gumilang sering menyerukan pentingnya nilai-nilai tersebut, terutama dalam konteks pendidikan dan pembangunan Politeknik Tanah Air (Al-Zaytun Indonesia Raya).
Visi ini dirangkum dalam kalimat:
"Menanam Kesadaran, Menumbuhkan Kemanusiaan."
Ajaran ini menekankan bahwa pembangunan sejati harus dimulai dari menanamkan kesadaran akan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga sadar hukum, sadar lingkungan, dan sadar sosial.
Kesadaran ini adalah fondasi untuk menumbuhkan kemanusiaan yang sejati—sebuah kemanusiaan yang terwujud dalam sikap toleransi (tasamuh), menghormati hak sesama, dan bertindak nyata untuk kemaslahatan bersama, bukan merusak atau merampas hak orang lain, diantaranya melalui korupsi.
Dengan menanamkan kesadaran yang berakar pada nilai-nilai ketuhanan dan Pancasila, diharapkan lahir generasi yang tidak hanya terampil, tetapi juga memiliki integritas tinggi, yang pada akhirnya akan menghentikan siklus "Liga Mega Korupsi" dan membawa bangsa menuju kemandirian serta keadilan sosial yang sesungguhnya.


