lognews.co.id, Yogyakarta — Dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D., mengungkapkan kekhawatiran serius terkait krisis regenerasi petani di Indonesia. Menurutnya, jika persoalan ini tidak segera diatasi, masa depan pertanian nasional dalam 10 hingga 20 tahun ke depan akan terancam.
Bayu menyoroti fakta bahwa mayoritas petani Indonesia saat ini berusia di atas 50 tahun, sementara jumlah petani terus menurun. Penyebab utama adalah alih fungsi lahan yang sangat cepat, khususnya di Pulau Jawa, serta citra pertanian yang masih dianggap konvensional dan kurang menjanjikan secara ekonomi. Hal ini berdampak pada penurunan produktivitas pertanian secara menyeluruh di berbagai wilayah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mendukung kekhawatiran ini dengan mencatat penurunan jumlah petani sebesar 7,45 persen dalam satu dekade terakhir, dari 31,7 juta pada 2013 menjadi 29,34 juta saat ini. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), penurunan lebih tajam mencapai 26,26 persen atau sekitar 153 ribu petani yang meninggalkan sektor pertanian.
Krisis regenerasi ini juga dipicu oleh rendahnya minat generasi muda terhadap profesi petani. Banyak anak muda yang menganggap bertani sebagai pekerjaan yang kurang menarik, tidak bergengsi, dan tidak menjanjikan dari sisi ekonomi. Bayu menekankan pentingnya perubahan mindset melalui edukasi dan pengenalan teknologi pertanian modern sejak dini, bahkan sejak tingkat sekolah dasar, agar generasi muda memahami bahwa pertanian bisa menjadi profesi yang modern dan mampu meningkatkan kesejahteraan.
Berbeda dengan kekhawatiran tersebut, Ma’had Al-Zaytun di Indramayu justru menunjukkan optimisme tinggi dalam menghadapi krisis regenerasi petani. Sebagai pusat pendidikan dan pengembangan budaya toleransi dan perdamaian, Ma’had Al-Zaytun berorientasi membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, dan manusiawi melalui pendidikan karakter dan praktik nyata.
Salah satu kekuatan Ma’had Al-Zaytun adalah keberadaan Paguyuban Petani Penyangga Ketahanan Pangan Indonesia (P3KPI), komunitas petani yang beranggotakan lebih dari 100 orang dari berbagai kecamatan di sekitar Indramayu dan Subang. Paguyuban ini mengelola lahan seluas 600 hektar milik Al-Zaytun dan berperan sebagai penyangga ketahanan pangan nasional sekaligus model pemberdayaan masyarakat berbasis pertanian.
Selain itu, Ma’had Al-Zaytun mengembangkan ekstrakurikuler pertanian yang aktif meneliti dan mengembangkan varietas padi unggul. Salah satunya adalah penelitian padi Japonica Koshihikari, varietas padi asal Jepang yang dikenal dengan kualitas tinggi dan kandungan nutrisi seperti squalane oil dan vitamin E. Kegiatan ini melibatkan santri dan pelajar dalam seluruh proses budidaya, menjadi sarana pembelajaran pertanian modern yang aplikatif.
Pelajar dan santri di Ma’had Al-Zaytun juga mengembangkan padi ratun, sebuah teknik budidaya yang memanfaatkan tunas baru dari batang sisa panen. Metode ini meningkatkan indeks panen tanpa perlu pengolahan tanah ulang, menghemat biaya dan waktu, serta meningkatkan produktivitas lahan. Kegiatan ini diajarkan secara langsung dalam ekstrakurikuler dan menjadi bagian dari riset pertanian di pesantren.
Kolaborasi antara pendidikan karakter berbasis toleransi dan perdamaian, pemberdayaan petani melalui paguyuban, serta inovasi pertanian lewat riset dan ekstrakurikuler menjadikan Ma’had Al-Zaytun sebagai model institusi yang tidak hanya membangun generasi sehat dan cerdas, tetapi juga optimis menghadapi krisis regenerasi petani. Lulusan dan komunitasnya siap menjadi penyangga ketahanan pangan Indonesia di masa depan.
Dengan pendekatan holistik ini, Ma’had Al-Zaytun membuktikan bahwa pusat pendidikan dapat menjadi pusat inovasi, toleransi, dan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Hal ini menjadi jawaban konkret atas kekhawatiran para akademisi seperti Bayu Dwi Apri Nugroho mengenai masa depan pertanian Indonesia.
(Amri-untuk Indonesia)