Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
lognews.co.id - Minimal ada tiga argument konstitusional penggabungan serentak pemilu untuk DPRD dengan pilkada pada tahun 2031 bertentangan dengan UUD 1945 alias Inkonstitusional"
Pertama, amanat UUD 1945 pasal 22 E, ayat 1 & 2 secara tertulis dan eksplisit menyebutkan bahwa pemilu untuk memilih DPR, DPD, PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN DAN DPRD dilaksanakan setiap "lima tahun" sekali.
Ketentuan UUD 1945 dalam pasal di atas tidak ada tafsir lain, termasuk menurut Profesor Yusril Ihza Mahendra, kecuali bahwa pemilu untuk DPRD sebagaimana pemilu untuk DPR, DPD dan Presiden/Wakil Presiden, harus dilaksanakan "setiap lima tahun sekali"
Putusan MK nomor: 135/PPU-XXII/2024 melanggar UUD 1945 dan "Inkonstitusional" bukan karena penggabungan pemilu serentak DPRD dengan pilkada melainkan karena pemilu untuk DPRD dilaksanakan tahun 2031, melewati periode "lima tahun" melanggar UUD pasal 22 E.
Jadi, pilihan skenario untuk pemilu DPRD baik "serentak" atau "tidak serentak", digabung atau dipisah, dengan argument apapun baik demi efisiensi atau kualitas pemilu atau kemudahan bagi pemilih adalah "sah" sejauh pemilu untuk DPRD dilaksanakan setiap lima tahun sekali (UUD 1945, pasal 22 E, ayat 1 & 2).
Kedua, maka menarik mundur pemilu untuk DPRD ke tahun 2031 demi keserentakan pelaksanaannya bersama pilkada dengan konsekuensi perpanjangan masa jabatan DPRD melewati periode lima tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan, sekali lagi, "Inkonstitusional"
Lma tahun adalah mandat konstitusional satu periode untuk DPRD sebagaimana diatur dalam pasal 22 E UUD 1945. Rakyat memiliki alasan untuk melakukan "pembangkangan sipil" jika eksistensi DPRD melewati batas konstitusional lima tahun dalam satu periode DPRD.
Ketiga, kewenangan MK yang diberikan konstitusi atau UUD 1945, pasal 24 C, adalah "menjaga" norma, bukan "mengatur" norma, yakni menguji konstitusionalitas Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar (UUD), bukan merubah "norma" UUD 1945.
Putusan MK yang menarik mundur pemilu DPRD ke tahun 2031, melewati periode "lima tahun" demi keserentakan dengan pilkada bukan sekedar "melampaui" kewenangan MK yang diberikan konstitusi tapi justru nyata nyata merubah konstitusi itu sendiri.
Di sinilah bahayanya putusan MK di atas. MK menjadi lembaga negara "superbody" yang menabrak nabrak "norma" dasar ketentuan UUD 1945 dan konstitusi tentang prinsip "lima tahunan" pelaksanaan pemilu.
Sekali saja kita mentoleransi pelanggaran terhadap UUD 1945 atas nama dan oleh lembaga negara apapun maka kita akan kehilangan pegangan yang kokoh dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk dalam hal pemilu.
Inilah harga sangat mahal bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita di masa masa mendatang.
Wassalam.