Oleh. : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
lognews.co.id - Tanggal 1 Juni adalah tanggal "historis" bagi K.H.Wahid Hasyim dan Pancasila, sama sama lahir tanggal 1 Juni tentu berbeda tahun. K.H Wahid Hasyim lahir 1 Juni tahun 1914. Pancasila lahir 1 Juni tahun 1945.
Relasi keterkaitan K.H. Wahid Hasyim, Ayahanda Gus Dur, dengan Pancasila tentu bukan karena "takdir" kebetulan sama sama lahir 1 Juni tetapi tentang peran peran historis K.H. Wahid Hasyim dalam proses perumusan Pancasila
Berbeda dengan Muhammadiyah diwakili 4 tokoh, K.H. Wahid Hasyim adalah tokoh tunggal NU dalam perumusan Pancasila sejak dalam BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia), PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) hingga final Pancasila sebagai dasar negara.
Atas peran peran historis itulah dan kontribusinya sebagai Menteri Agama empat kali dalam kabinet berbeda maka K.H. Wahid Hasyim ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Nama K.H. Wahid Hasyim juga diabadikan menjadi nama sebuah jalan penting di Jakarta.
Jalan K.H.Wahid Hasyim terletak di pusat jantung kota di daerah elite Menteng Jakarta. Jalan K.H. Wahid Hasyim membentang relatif pendek sependek usia K.H. Wahid Hasyim, ia meninggal akibat kecelakaan di Cimahi Jawa Barat dalam usia muda, 39 tahun.
Jalan K.H. Wahid Hasyim adalah titik temu persimpangan jalan Haji Fakhrudin (tokoh Muhammadiyah), jalan Husni Thamrin (tokoh politik Islam Betawi) dan jalan HOS Cokroaminoto (tokoh Syarikat Islam).
Ini sebuah jalan "replika historis" bahwa begitu penting peran kunci K.H. Wahid Hasyim dalam mempertemukan persimpangan jalan pikiran tokoh tokoh Islam dalam perumusan Pancasila yang begitu "alot" dan konfliktual secara ideologis - saat itu.
Hari lahir Pancasila 1 Juni ditetapkan secara resmi melalui Keppres (Keputusan Presiden) No 24 tahun 2016 merujuk pada pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI. Bung Karno menyebut Pancasila sebagai "Philosophiche Grandslag", yakni falsafah dasar negara.
Perumusan Pancasila dan lima sila di dalamnya tidak sekali jadi melainkan berproses dalam dialektika yang rumit, panjang dan "konfliktual" secara ideologis.
Pertama, rumusan "teks" Pancasila versi Bung Karno yang disampaikan dalam pidatonya di sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Rumusan sila silanya adalah 1) nasionalisme, 2) perikemanusiaan/internationalite, 3) mufakat/demokrasi, 4) kesejahteraan, dan 5) ketuhanan yang berkebudayaan.
Bung Karno dalam pidato tersebut menjelaskan bahwa lima sila di atas dapat diperas menjadi "trisila" (sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan) dan dapat diperas kembali menjadi "ekasila", yakni gotong royong.
Kedua, Pancasila 22 Juni 1945, hasil rumusan tim 9 PPKI diketuai Bung Karno dengan 7 anggota dari perwakilan tokoh ormas Islam, termasuk KH. Wahid Hasyim tokoh tunggal dari NU. Inilah Pancasila yang disebut "Piagam Jakarta", dipandang lebih berpihak pada faksi "Islam politik".
Rumusannya, 1. Ketuhanan "dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya", 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3 Persatuan Indonesia, 4 Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ketiga, pada 18 Agustus 1945 sehari setelah proklamasi kemerdekaan RI teks Pancasila versi 22 Juni 1945 di atas direvisi ulang.
Sila pertama "direvisi" dari teks "ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan syariat islam bagi para pemeluknya" dihapus dan diganti dengan kalimat "ketuhanan yang Maha Esa" tanpa merubah sedikit pun urutan sila dan teks sila sila berikutnya.
Perubahan teks sila pertama di atas bermula dari usul bung Hatta karena desakan tokoh tokoh non muslim bagian timur tapi sangat krusial bagi tokoh tokoh Islam yang telah berhasil memperjuangkan rumusan Pancasila sebagaimana telah disepakati 22 Juni 1945, disebut "Piagam Jakarta".
Di sinilah peran kunci KH Wahid Hasyim anggota PPKI paling muda dan tokoh tunggal dari NU bersama Ki Bagus Hadikusumo (Tokoh Muhammadiyah) meredam "kemarahan" tokoh tokoh Islam, meyakinkan mereka untuk menerima perubahan sila pertama menjadi "Ketuhanan yang maha esa" sebagai proses konvergensi kebangsaan.
Pancasila 18 Agustus 1945 inilah (baik teks, redaksi dan urutan sila silanya) yang menjadi konsensus final para pendiri bangsa sebagai dasar negara sebagaimana tercantum resmi dalam pembukaan UUD 1945 hingga saat ini.
Dalam konteks ini dapat dimengerti jika Alamsyah Prawira Negara, Menteri Agama RI saat itu menyebut Pancasila 18 Agustus 1945 di atas sebagai "hadiah terbesar" Umat Islam bagi kokohnya integrasi kebangsaan.
Dr. Nurcholish Madjid, seorang tokoh intelektual muslim menyebut Pancasila 18 Agustus 1945 dengan istilah "kalimatun sawa'", titik temu kompromistis antara faksi politik "nasionalis"(Pancasila versi 1Juni) dan faksi politik "islam" (Pancasila versi "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945.
Kelak di kemudian hari setelah penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara - NU menyebut Pancasila sebagai "Al Mu'ahadah Al wathoniyah" (konsensus final kebangsaan).
Sementara Muhammadiyah menyebut Pancasila dalam konteks NKRI sebagai "Darul "ahdi wal syahadah", yakni negara kesepakatan dengan konsensus final Pancasila dasar negara.
Inilah yang harus dijaga dan dirawat bersama untuk mengukuhkan integrasi kebangsaan secara lahir batin dan menghindari monopoli tafsir Pancasila hanya untuk kepentingan politik pragmatis dan sektarian.
Setiap usaha memonopoli tafsir Pancasila hanya ditekankan pada Pancasila 1 Juni atau sebaliknya Pancasila "Piagam Jakarta" 22 Juni 1945 (dengan tekanan "syariat islam") akan menimbulkan kerapuhan sendi sendi kebangsaan.
Selamat hari lahir Pancasila 1 Juni 2025. Inilah salah satu "legacy" intelektual KH. Wahid Hasyim tokoh tunggal NU dalam meneguhkan Pancasila sebagai dasar negara. Al Fatihah untuk beliau.
Wassalam