Oleh Dr. Ali Aminulloh. M.Pd.I. ME
(Dosen IAI Al Zaytun Indonesia)
lognews.co.id - Kamis (24/7/2025) menjadi hari kedua yang penuh inspirasi dalam Konferensi Internasional Negara Serumpun Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Acara bergengsi ini, bertajuk International Community Service Collaboration, mengusung tema relevan: "Global Sustainability and Community: Scholar's Synergy for Sabang Independence." Hari kedua konferensi ini didedikasikan sepenuhnya untuk membahas berbagai isu pengabdian kepada masyarakat, dibagi menjadi tujuh kelompok pembahasan yang masing-masing diisi oleh tujuh hingga delapan narasumber ahli.
Menggagas Peradaban Hukum melalui Sosialisasi KUHP Baru Di antara para akademisi yang hadir, Dr. Ali Aminulloh, S.Ag., M.Pd.I., M.E., dosen dari IAI Al-Zaytun Indonesia, berkesempatan menyampaikan gagasannya di Kelompok 2. Kelompok ini secara spesifik mendiskusikan berbagai aspek pengabdian masyarakat yang mencakup keuangan, hukum, kesehatan anak, psikologi, budaya, dan ekowisata. Sesi yang dimoderatori oleh Ns. Diena Juliana, S.Kep., M.Kes dari STIKes Yarsi Pontianak ini, terbagi menjadi dua sesi diskusi yang menarik.
Sesi pertama menampilkan empat pembicara yang memaparkan beragam inisiatif pengabdian masyarakat. Di antaranya, Dr. Ahmad Junaedi, S.E., M.Si. dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang mengulas pendampingan penyusunan laporan akuntabilitas keuangan SMA Muhammadiyah 1 Boarding School City. Kemudian, Dr. Arbiningsih, S.Kep., Ns., M.Kes. dari UIN Alauddin Makassar mempresentasikan metode pijat bayi untuk pertumbuhan optimal, dengan fokus pada pemberdayaan pengasuh di Pulo Sabang. Tak ketinggalan, Dr. Desi Asmara, M.Ag., C.Med. mengangkat upaya peningkatan kualitas hidup lansia melalui pembinaan di Day Care Lansia Jannatul Ma'wa di Sumatera Barat. Terakhir di sesi ini, Dr. Dewi Masita, M.Si. memaparkan inisiatif ekonomi kerakyatan melalui kolaborasi Warung Madura dan Toko Basmalah sebagai strategi melawan hegemoni perdagangan etnis Tionghoa di Pasuruan.
Memasuki sesi kedua, Dr. Ali Aminulloh, M.Pd.I. ME. menjadi pembicara pertama. Dalam forum kolaborasi dosen lintas perguruan tinggi ini, beliau menyampaikan keprihatinannya atas minimnya informasi yang dimiliki masyarakat mengenai sebuah anugerah besar bagi bangsa Indonesia: kelahiran dan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Dr. Ali menegaskan bahwa masyarakat berperadaban adalah masyarakat yang mengenal hukumnya sendiri. Mengapa disebut karunia? Sebab, sebagai negara hukum, Indonesia masih menggunakan KUHP produk Belanda yang disusun pada tahun 1918, dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht. Karakteristik hukum pada masa penjajahan cenderung represif, sebuah cerminan dari suasana kebatinan saat undang-undang tersebut lahir, dan tentu saja berpengaruh pada muatannya.
Upaya mengubah KUHP ini sudah dimulai sejak era Soekarno pada tahun 1963, namun baru berhasil disahkan setelah perjalanan panjang selama 60 tahun penuh dinamika. KUHP baru ini membawa perubahan signifikan yang berbasis nilai-nilai Pancasila, menjadikan hukum lebih humanis dan restoratif. Namun, hasil observasi Dr. Ali menunjukkan fakta menyedihkan: mayoritas kalangan, mulai dari akademisi, guru, tokoh masyarakat, mahasiswa, hingga masyarakat umum, belum memahami adanya KUHP baru ini. Bahkan, banyak peserta konferensi yang secara jujur mengakui ketidaktahuannya, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Ade Kurniawan Harahap dari Sumatera Utara dan Dr. Ir. Tri Cicik Wijayanti, S.E., M.M., M.Psi dari Universitas Gajayana Malang. Fakta ini juga diamini oleh peserta lain.
Kolaborasi Akademisi Membangun Literasi dan Kearifan Lokal
Survei Dr. Ali terhadap 553 responden dengan berbagai latar belakang akademik, usia, dan pekerjaan, mengungkapkan bahwa 57% belum mengetahui KUHP baru, sementara hanya 39% yang sudah pernah mendengar dan sisanya ragu-ragu. Dari kelompok yang tahu, mayoritas adalah mahasiswa yang memang diajar oleh Dr. Ali. Ini menunjukkan minimnya literasi masyarakat mengenai pemberlakuan undang-undang ini, meskipun berlaku prinsip fictie hukum, di mana masyarakat dianggap tahu jika suatu peraturan telah dinyatakan berlaku, dalam hal ini mulai 1 Januari 2026.
Namun, ada kabar baik: 96% responden merasa perlu dan penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang KUHP Baru. Menurut Dr. Ali, ini adalah peluang emas bagi para akademisi untuk berkontribusi mengisi kekosongan informasi ini. Hasil survei juga menunjukkan bahwa masyarakat usia di atas 35 tahun dan berpendidikan S1 ke atas menginginkan penyuluhan dalam bentuk seminar, dialog, webinar, atau kuliah umum. Sementara itu, masyarakat di bawah usia 35 tahun lebih menyukai edukasi melalui video di media sosial.
Penelitian Dr. Ali dengan tegas menggarisbawahi perlunya keterlibatan aktif akademisi dalam sosialisasi ini. Sebab, sejatinya ada empat kelompok masyarakat yang memiliki kewajiban moral dalam sosialisasi hukum: pemerintah, DPR, penegak hukum, dan akademisi. Para akademisi, melalui program Pengabdian kepada Masyarakat (PkM), dapat menciptakan dua platform kegiatan: video edukasi melalui media sosial atau forum interaktif seperti webinar, kuliah umum, dan dialog. Dengan demikian, eksistensi perguruan tinggi akan semakin dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas.
Pembicara kedua, Nur Fatehah Mawardi, S.Pd. MA. C.Ed. dari Universitas Negeri Semarang (UNNES), membahas pelestarian budaya Jawa melalui digitalisasi Cerita Cekak (Cerkak) dengan aplikasi Novaja.id. Inisiatif PkM ini bertujuan merevitalisasi bahasa dan sastra Jawa, dilatarbelakangi oleh minimnya bahan bacaan berbahasa Jawa di pasaran. Banyak potensi budaya Jawa yang dapat diekspos, namun masalahnya adalah rendahnya literasi bahasa Jawa di kalangan generasi muda. Dengan memanfaatkan kebiasaan anak muda yang sering mengakses media sosial, digitalisasi buku-buku berbahasa Jawa menjadi keniscayaan. Peneliti UNNES berkolaborasi dengan Balai Bahasa Jawa Tengah untuk menciptakan karya-karya baru tengan cerita berbahasa Jawa, sekaligus sebagai media pembentukan karakter pelajar. Semua karya sastra dan bahasa Jawa ini dituangkan dalam aplikasi Novaja.id yang dapat diakses gratis oleh masyarakat, dengan harapan meningkatkan minat baca dan kecintaan terhadap bahasa Jawa.
Pembicara terakhir, Dr. Ir. M. Ade Kurniawan Harahap, M.T. dari Universitas Simalungun Pematang Siantar, mengangkat tema pengembangan ekowisata di Danau Toba-Samosir melalui kearifan lokal. Program PkM ini berangkat dari permasalahan bahwa setelah Danau Toba ditetapkan UNESCO sebagai Global Geopark pada tahun 2020, perkembangannya pesat namun tidak berbasis prinsip ekowisata. Akibatnya, kearifan lokal Batak Toba mulai terpinggirkan oleh pengusaha yang mengedepankan komersialisasi pariwisata. Oleh karena itu, diperlukan partisipasi akademisi dalam mengidentifikasi kearifan lokal yang mendukung ekowisata berbasis nilai lokal khas Danau Toba. Selain itu, perlu upaya meningkatkan kapasitas masyarakat lokal sebagai pelaku wisata berbasis budaya dan lingkungan, agar mereka tidak hanya menjadi penonton di tanah sendiri. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, tokoh masyarakat, pemuda, dan pengusaha diharapkan dapat mewujudkan destinasi berkarakter Danau Toba yang mendidik, lestari, inklusif, dan berkelanjutan.
Epilog: Merajut Asa, Membangun Peradaban
Sesi konferensi diakhiri dengan diskusi yang inspiratif dan memantik semangat kolaborasi. Dari diskusi tersebut, tergagaslah berbagai potensi kerja sama, mulai dari pendidikan hukum bagi masyarakat, penguatan bahasa daerah sebagai kekayaan budaya bangsa, hingga pengembangan ekowisata berbasis kearifan lokal. Para peserta dengan antusias menyepakati untuk melanjutkan kerja sama dalam pengembangan berbagai bidang PkM di kampus masing-masing. Meskipun dibatasi oleh waktu dan terpisah oleh jarak yang cukup jauh—dari Aceh, Medan, Pontianak, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur—teknologi telah menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai ide dan inspirasi. Ini membuktikan bahwa melalui sinergi dan dedikasi kaum intelektual, kita dapat terus berkarya dan membangun negeri tercinta, merajut asa demi masyarakat yang berliterasi, berbudaya, dan berperadaban unggul.