Oleh : Ali Aminulloh
lognews.co.id - Pada umumnya, hari Ahad diidentifikasi sebagai waktu jeda dari rutinitas, momen untuk memulihkan diri sebelum kembali beraktivitas. Namun, di Mahad Al-Zaytun, Ahad justru menjadi hari yang sarat dengan kegiatan ilmiah, melibatkan seluruh pelaku didik dan perwakilan wali santri dari berbagai daerah.
Inilah esensi dari Pelatihan Pelaku Didik Berkelanjutan, sebuah program futuristik yang telah berjalan sejak 1 Juni 2025, dan pada Ahad, 20 Juli 2025, memasuki sesi kedelapan dengan menghadirkan Prof. Dr. Hamja, S.H., M.H., dari Universitas Wiralodra Indramayu sebagai narasumber.
Acara diawali dengan lantunan "Indonesia Raya" tiga stanza, dilanjutkan dengan prakata panitia yang disampaikan oleh Ustadz Imam Muhajir Rahman, S.T. Dalam sambutannya, Imam Muhajir menggarisbawahi komitmen Mahad Al-Zaytun dalam mengukuhkan perannya sebagai pelopor transformasi revolusioner pendidikan berasrama, dengan visi besar mewujudkan Indonesia modern di Abad ke-21 dan menyambut 100 Tahun kemerdekaan Indonesia.
Pelatihan ini, yang diikuti oleh 2.766 peserta dari berbagai elemen ekosistem Al-Zaytun mulai dari dosen dan mahasiswa hingga petani dan unit-unit pendukung adalah manifestasi nyata dari gagasan "Indonesia Raya 1000 Tahun ke Depan dengan Semangat Remontada From Within (Kebangkitan dari Dalam)" yang dicanangkan oleh Syaykh Al-Zaytun.
Inisiatif ini menandai "Novum Gradum" atau loncatan paradigma baru, sebuah pemikiran autentik dan radikal yang mengintegrasikan hukum, sains, teknologi, engineering, seni, dan matematika (L-STEAM) serta nilai-nilai Pancasila ke dalam kehidupan nyata, bertujuan untuk menciptakan bangsa yang tertata, unggul, dan gemilang. Dalam kerangka L-STEAM, dimensi Hukum menjadi pilar utama yang tak hanya mengajarkan aspek formal, melainkan juga menanamkan kesadaran moral, etika, dan nilai-nilai luhur peradaban.
Kehadiran Prof. Dr. Hamja dalam pelatihan ini semakin memperkuat fondasi filosofis, khususnya mengenai pentingnya membaca buku sebagai fondasi peradaban pendidikan berasrama yang berkelanjutan.
Membaca dipandang bukan sekadar aktivitas intelektual, melainkan proses pembebasan dan pembentukan jiwa menuju kebijaksanaan, hukum yang berkeadilan, dan kesadaran kolektif.
Melalui pendekatan pendidikan iteratif secara inkremental, Al-Zaytun berupaya membangun karakter dan mengembangkan potensi secara berkelanjutan, menyiapkan generasi emas untuk menyongsong masyarakat 6.0, sebuah tatanan sosial futuristik yang memadukan kearifan tradisional dan kemajuan teknologi dalam harmoni peradaban yang tinggi, adil, dan berkeadaban.
Filsafat dan Esensi Berpikir: Menyelami Kedalaman Eksistensi Manusia
Pada acara inti pemaparan materi dari nara sumber, Prof. Hamja menyampaikannya dengan gaya khas. Ia tidak terpaku pada mimbar yang sudah disiapkan, justru ia lebih memilih menyampaikan materi secara interaktif. Prof. Hamja mendekati peserta dan langsung berdialog dengan mereka.
Ia menjelaskan bahwa manusia, dalam hakikatnya, adalah makhluk yang senantiasa bergelut dengan perenungan mendasar tentang eksistensinya. Sejak zaman filsuf kuno, manusia digambarkan sebagai "binatang yang berpikir" sebuah identifikasi yang merangkum inti dari kemampuan kognitif dan reflektif kita. Kemampuan berpikir inilah yang menjadi fondasi bagi segala aspek kehidupan, mendorong kita untuk mencari kebenaran, memahami dinamika realitas, dan terus-menerus menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Berpikir sebagai Fitrah Universal
Ada sebuah "fitrah kebenaran" dalam diri setiap individu, sebuah dorongan intrinsik untuk meraih pemahaman yang lebih dalam. Dorongan ini, pada gilirannya, membutuhkan "kendaraan" yang paling ampuh, yaitu berpikir.
Bukan sekadar berpikir biasa, melainkan berpikir dengan sifat "eksistensial", yaitu perenungan yang menyentuh inti keberadaan kita. Ini adalah "universal need" yang melekat pada manusia; dalam setiap lini kehidupan, mulai dari keputusan personal hingga skala peradaban, pikiran memegang peran sentral.
Kehidupan manusia tidaklah statis, melainkan penuh dengan "dinamika" dan pluralitas. Apa yang dianggap benar di satu tempat atau waktu, belum tentu relevan di tempat atau waktu lain.
Realitas yang terus bergerak ini menuntut kita untuk memiliki kemampuan merefleksi secara mendalam. Refleksi bukan hanya sekadar mengulang apa yang telah terjadi, tetapi sebuah proses aktif untuk mengembangkan pemikiran, bereskpektasi, dan merumuskan perenungan hidup yang memungkinkan penyesuaian diri dengan kondisi yang senantiasa berubah.
Melawan "Filsafat Phobia": Menguak Mitos tentang Filsafat
Ironisnya, di tengah kebutuhan esensial akan pemikiran mendalam, seringkali muncul pandangan negatif atau "filsafat phobia" terhadap disiplin ilmu ini. Ada anggapan bahwa filsafat itu "ruwet" dan tidak berguna, bahkan ada yang menyebutnya "arogan" dan "berbahaya". Mitos-mitos seperti "filsafat menyesatkan" atau "tidak ada gunanya" adalah cerminan dari kurangnya pemahaman tentang peran krusial filsafat dalam membentuk peradaban manusia.
Padahal, tujuan mempelajari filsafat ilmu jauh dari klaim-klaim negatif tersebut. Filsafat ilmu hadir untuk:
1. Memahami hakikat dan tujuan filsafat ilmu itu sendiri, sebagai bagian integral dari epistemologi atau teori pengetahuan.
2. Memahami persoalan-persoalan dasar yang dihadapi ilmu, menggali fondasi dan batasan dari setiap bidang pengetahuan.
3. Mendudukkan ilmu dalam skala luas dalam peradaban dan kehidupan yang lebih luas, memberikan perspektif holistik agar ilmu tidak hanya menjadi akumulasi data, tetapi juga alat untuk mencapai kebijaksanaan.
Filsafat, pada intinya, mengajak kita untuk mempertanyakan, menggali, dan memahami lebih dalam, bukan untuk menyesatkan atau menimbulkan keruwetan yang tak berujung.
Kekuatan Membaca: Gerbang Menuju Kedalaman Filosofis
Dalam konteks filsafat dan pengembangan pemikiran, membaca buku memegang peranan yang sangat fundamental. Membaca bukan sekadar aktivitas mengisi waktu luang, melainkan sebuah proses yang:
• Informatif: Menyediakan data dan fakta baru.
• Formatif: Membentuk cara berpikir dan pandangan dunia kita.
• Reflektif: Mendorong kita untuk merenung dan mengaitkan informasi dengan pengalaman pribadi.
Setiap kejadian adalah sumber ilmu, setiap fenomena mengandung wawasan, setiap orang bisa menjadi guru, setiap tempat adalah ruang belajar, dan setiap waktu merupakan waktu menimba ilmu. Pada dasarnya, apapun yang kita hadapi dalam hidup, pikiran, dan kehidupan kita adalah proses membaca realitas, membaca pengalaman, dan membaca diri sendiri.
Pepatah kuno mengatakan, "Ruangan tanpa buku ibarat tubuh kehilangan jiwa." Pernyataan ini menegaskan betapa pentingnya buku sebagai jendela dunia dan penumbuh jiwa.
Buku tanpa dibaca dan disentuh seperti kendaraan tanpa kemudi, sementara buku yang tak dilirik bagaikan jiwa tak bernyawa. Membaca buku, khususnya pada tingkat yang lebih rinci, sangat diperlukan karena di sanalah kita menemukan informasi yang sudah terkurasi, mengerucut kepada indikator yang lebih penting, sehingga tidak hanya informatif tetapi juga formatif.
Secara lebih rinci, inilah mengapa membaca buku sangat penting:
1. Buku sebagai "gudang ide" yang berkembang terus-menerus tanpa batas. Setiap halaman menyimpan pemikiran, konsep, dan perspektif yang tak terbatas.
2. Buku adalah peta peradaban manusia yang luas dan dinamis. Membaca memungkinkan kita memahami jejak langkah peradaban, belajar dari masa lalu, dan menjadi pribadi yang lebih cerdas.
3. Buku adalah rekaman kecerdasan dan kedalaman pemikiran manusia. Melalui buku, kita dapat berdialog dengan para pemikir hebat dari berbagai zaman.
4. Buku adalah kompleksitas pengalaman manusia. Kisah, data, dan analisis dalam buku memperkaya pemahaman kita tentang berbagai dimensi kehidupan.
Pada akhirnya, filsafat dan kebiasaan membaca adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya mengajak kita untuk terus menggali, mempertanyakan, dan memahami esensi kehidupan.
Di tengah hiruk pikuk informasi dan perubahan yang begitu cepat, kemampuan untuk berpikir mendalam dan membaca secara kritis menjadi semakin vital. Mari kita jadikan membaca bukan hanya sekadar kebiasaan, melainkan sebuah gaya hidup yang membawa kita pada pemahaman yang lebih bijaksana, mampu beradaptasi dengan dinamika zaman, dan pada akhirnya, menginspirasi kita untuk terus belajar dan berkontribusi bagi peradaban yang lebih baik.
Karena sesungguhnya, dalam setiap lembar yang kita baca dan setiap pemikiran yang kita olah, terdapat potensi tak terbatas untuk membentuk masa depan yang lebih cerah.