(Seri mengenal tradisi-tradisi di Al-Zaytun)
Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id, Indonesia - Pagi hari di kompleks Pondok Pesantren Al-Zaytun menyuguhkan pemandangan yang tak biasa, namun menawan: barisan santri yang berjalan rapi berdua-dua, atau yang dikenal dengan tradisi "matsna matsna". Terpisah antara santri laki-laki (rijal) dan perempuan (nisa), mereka menyusuri rute yang telah ditetapkan dengan disiplin tinggi. Di setiap persimpangan jalan, para petugas yang berasal dari santri kelas tertinggi—yaitu kelas VI MI, kelas IX MTs, dan kelas XII MA—dengan sigap menjaga kerapian barisan. Uniknya, meskipun garis putih penanda zebra cross sudah samar, para santri tetap dengan patuh sedikit berbelok untuk melintasinya, menunjukkan ketaatan pada aturan yang tertanam kuat.
Peran Disiplin dan Kepemimpinan dalam Pembentukan Karakter
Tradisi berjalan berdua-dua ini, yang telah berjalan sejak mahad berdiri pada tahun 1999, ternyata bukan sekadar kebiasaan visual yang enak dipandang. Di balik kesederhanaan gerak ini, terkandung manfaat luar biasa dalam pembentukan karakter dan stimulasi komunikasi santri. Sebuah "aturan tidak tertulis" yang melarang mereka berjalan sendirian atau bergerombol lebih dari tiga orang telah melahirkan dinamika sosial yang positif.
"Santri sejak dini dibiasakan hidup berdisiplin," ujar Hafidz Al Barzah, Pembina Organisasi Pelajar (OPMAZ). Ia menambahkan, "Melalui pengaturan jalan ini, santri juga dibangun jiwa kepemimpinannya." Pernyataan ini menegaskan filosofi di balik tradisi ini: disiplin bukanlah sekadar kepatuhan buta, melainkan fondasi bagi pengembangan diri dan kepemimpinan.
Selama perjalanan menuju kampus, para santri terlihat asyik berinteraksi, bertukar cerita, dan berbagi pengalaman baik di sekolah maupun di asrama. Keceriaan terpancar jelas di wajah mereka, sesekali diiringi tawa dan diskusi ringan. Fenomena ini, menurut Lev Vygotsky, seorang psikolog perkembangan Rusia, sangat relevan dengan teorinya tentang perkembangan sosio-kultural. Vygotsky (1978) menekankan bahwa pembelajaran dan perkembangan kognitif tidak terjadi secara individual, melainkan melalui interaksi sosial dan kolaborasi dengan orang lain. Dalam konteks ini, tradisi "matsna matsna" menciptakan ruang otentik bagi santri untuk melatih keterampilan komunikasi, empati, dan membangun hubungan interpersonal yang kuat di luar jam pelajaran formal. Ini adalah bentuk pembelajaran informal yang efektif, memperkaya pengalaman pendidikan mereka.
Apabila ada santri yang terlihat berjalan sendirian atau lebih dari tiga orang, dengan sigap para petugas penjaga jalan akan mengingatkan dengan teriakan khas: "matsna matsna!" Teguran lembut ini bukan sekadar perintah, melainkan pengingat akan komitmen bersama terhadap disiplin. Ini menunjukkan bagaimana tradisi ini menjadi alat efektif untuk menanamkan nilai-nilai inti seperti disiplin, tertib, dan kepatuhan pada aturan. Santri belajar untuk tidak saling mendahului, tidak bergerombol, dan mampu mengendalikan keinginan serta ego pribadi demi kepentingan bersama. Tradisi ini menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa individu adalah bagian dari sebuah sistem yang lebih besar, di mana ketaatan pada aturan bersama menjadi kunci harmoni.
Harmoni Jiwa dan Ragawi: Iringan Musik Patriotik di Pagi Hari
Keindahan tradisi "matsna matsna" semakin lengkap dengan iringan musik merdu di pagi hari yang sarat makna. Sambil berjalan, para santri tanpa sadar ikut "ngahariring"—bersenandung—menyanyikan lagu-lagu patriotik yang membangkitkan semangat kebangsaan dan rasa cinta tanah air. Suasana kampus pun semakin terasa hidup dan inspiratif.
Penggunaan musik sebagai media pembentuk karakter dan pembangkit semangat telah lama diakui dalam psikologi pendidikan. Howard Gardner, dengan teorinya tentang kecerdasan majemuk, menempatkan kecerdasan musikal sebagai salah satu bentuk inteligensi manusia (Gardner, 1983). Ia berpendapat bahwa musik tidak hanya sekadar hiburan, melainkan juga alat powerful untuk pembelajaran, pengembangan emosional, dan penanaman nilai. Dalam konteks Al-Zaytun, iringan lagu-lagu patriotik ini bukan hanya memperindah suasana, tetapi secara subliminal menanamkan nilai-nilai kebangsaan, disiplin, dan rasa memiliki terhadap identitas kolektif. Ini adalah pendekatan holistik yang menyentuh aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik santri secara bersamaan.
Tradisi ini, dengan segala elemennya, menegaskan bahwa pendidikan di Al-Zaytun adalah upaya pembentukan manusia seutuhnya. Bukan hanya mencetak individu cerdas secara intelektual, tetapi juga berkarakter kuat, cakap bersosialisasi, dan memiliki jiwa patriotik yang membara.
Epilog: Melangkah Serempak, Membangun Generasi Harapan Bangsa
Tradisi "matsna matsna" di Al-Zaytun adalah sebuah metafora yang indah tentang perjalanan hidup. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap langkah, kita tidak pernah sendiri. Ada kawan yang membersamai, ada aturan yang membimbing, dan ada tujuan mulia yang menanti. Di bawah mentari pagi yang hangat, diiringi melodi patriotik yang menggetarkan jiwa, setiap santri Al-Zaytun tidak hanya melangkah menuju gedung sekolah, tetapi melangkah menuju pembentukan diri, menuju kedewasaan, menuju masa depan yang cerah.
Ini adalah pemandangan yang mengharukan: barisan-barisan kecil yang rapi, mencerminkan tertibnya sebuah peradaban yang sedang dibangun. Mereka adalah tunas-tunas harapan, yang dari setiap langkah serempak mereka, terpancar janji akan disiplin, kebersamaan, dan kepatuhan pada nilai. Tradisi ini bukan hanya menjaga kerapian barisan fisik, melainkan juga merapikan jiwa, menanamkan benih-benih karakter yang kokoh. Di setiap senyum dan tawa yang terucap di antara obrolan ringan, kita melihat cahaya optimisme akan generasi penerus yang berintegritas. Tradisi "matsna matsna" adalah warisan tak ternilai, sebuah doa yang terwujud dalam gerak, bahwa dari setiap langkah kaki para santri, akan lahir pemimpin-pemimpin masa depan yang tak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter, beradab, dan siap memikul amanah peradaban.