PEMILU
الثلاثاء، 29 نيسان/أبريل 2025

DEDI MULYADI DAN PROBLEM MORALITAS KETELADANAN LUCKY HAKIM BERLIBUR KE JEPANG

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

Oleh : H. Adlan Daie

Analis politik dan sosial keagamaan

lognews.co.id - Teguran dan sentilan Dedi Mulyadi Gubernur Jawa Barat terhadap perjalanan berlibur Lucky Hakim ke Jepang yang diunggah di platform media "tiktok" begitu "booming" dan viral di ruang publik, dikutip sejumlah media "mainstream" Nasional.

Ini bukan persoalan sederhana, tidak sekedar soal relasi Gubernur dan Bupati, tidak sekedar soal tidak ijin ke Menteri Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Barat, bukan sekedar tidak menggunakan biaya dari keuangan negara (APBD) dan lain lain.

Dalam prinsip etika politik Prof Franz Magnis (1986) ini tentang defisit moral keteladanan bupati sebagai pemimpin saat warga yang dipimpinnya ditindih kesulitan ekonomi, jalan banyak berlubang, petani menjerit harga pupuk tinggi, banjir dan lain lain - ia justru berlibur "flexing", pamer ke luar negeri.

Karena itu, pembelaan para "loyalis" dan buzer" kepada Lucky Hakim atau dalam istilah komunitas para habaib disebut para "Muhibbin" secara membabi buta, apalagi mengirim pesan seolah olah hendak menantang dan meremehkan kritik Gubernur dan publik - potensial menimbulkan "turbulensi" dan goncangan yang sulit diduga eskalasi politiknya.

Nikmat Tuhan yang manalagi sesungguhnya hendak didustakan atas amanah jabatan yang dipegangnya jika tidak "tashorruful imam 'ala Al roiyah manuthun bil maslahah", - jika tindakan seorang pemimpin tidak memberi teladan maslahat terhadap peradaban akhlak publik yang dipimpinnya?"

Atau inikah cara "gimmick", sebuah manuver dan "interplay" politik Lucky Hakim berselancar politik untuk rute jalan lima tahun ke depan menuju "gedung sate" sebagaimana "bisik bisik alus" seorang konsultan politik kepada penulis ? Dinamika politik dan waktu kelak akan menjawabnya.

Terlepas dari kemungkinan spekulasi politik di atas - satu hal penting untuk digarisbawahi bahwa ibarat bus, rakyat adalah penumpang pasti tidak segan segan menghardik sopir (pemimpin) yang "ugal ugalan", menabrak batas kepantasan publik.

Bupati dipilih rakyat tidak mewakili kemewahan protokoler untuk dinikmati melainkan mewakili pikiran, rasa, harapan dan "kecemasan nasib" mereka, termasuk mewakili nasib 240 ribu rakyat miskin (11,87%) - BPS akhir 2024, yang dulu ia bela saat masa masa kampanye. 

Bupati bukan sekedar dituntut tidak melanggar aturan menurut standart regulasi tapi bertindak sepenuhnya mempertimbangkan kepantasan di ruang publik, tidak "flexing" di media sosial di atas 240 ribu derita rakyat miskin Indramayu.

Bupati sebagai pemimpin dalam perspektif antropologi politik di Indonesia adalah sumber moral dan keteladanan publik. Inilah prinsip kepemimpinan dalam pandangan Michail H. Hart, menjadi kekuatan power kepemimpinan politik dalam menjalankan tugas tugasnya sebagai bupati.

Profesor Jimly Assiddiqi menegaskan pemimpin adalah guru. Dalam pepatah moral lama yang dulu diajarkan di sekolah dasar "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" adalah gambaran hiperbolik betapa dahsyat daya rusak pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya jika pemimpin defisit moral dan keteladanan.

Itulah sebabnya rakyat begitu sensitif dan gampang marah kepada siapa pun yang menyandang "jabatan publik", digaji rakyat - jika bertindak di luar ambang batas moralitas dan kepantasan, melampaui konsensus "norma etis" publik dalam struktur ekosistem sosial masyarakat kita.

Tanpa keteladanan pasti kepemimpinan politik ambyar dan defisit nilai moralitas. Dalam teori sosial Imam Ghazali rusaknya moral keteladanan pemimpin adalah sumber malapetaka, pangkal rusaknya etika publik dan "hilirisasi" hancurnya akhlak rakyat yang dipimpinnya. 

Itulah beratnya menjadi bupati tapi disitulah kemuliaan bagi yang menghayati panggilan menjadi bupati sebagai tanggung jawab moral politik dan teladan publik. 

Pemimpin adalah seni implementasi, bukan drama manipulasi. Pemimpin adalah jalan mengabdi, bukan ruang ekspresi memuntahkan kepuasan diri. 

Maka tugas kita semua untuk mengawal dan mengontrolnya secara aktif karena sejarah berkali kali mengajarkan kita "kebaikan pasif selalu mudah ditundukkan kebohongan aktif dan "flexing" sosial di dunia "citra". 

Wassalam.