Sunday, 14 December 2025

Mati Hidup Bangsa: Peran Krusial Teknologi Pangan dalam Menjamin Masa Depan Indonesia

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

 Oleh Ali Aminulloh

lognews.co.id, Indonesia - Ahad, 7 Desember 2025, Pelatihan Pelaku Didik Al-Zaytun memasuki pekan ke-27 yang strategis. Tema besar yang diusung dalam momentum ini adalah "Menuju Transformasi Revolusioner Pendidikan Berasrama menuju Pendidikan Modern Abad XXI dan 100 Tahun Usia Kemerdekaan Indonesia". Pendidikan yang dikembangkan di sini berlandaskan prinsip LSTEAMS (Law, Science, Technology, Engineering, Art, Mathematics, and Spiritual), menunjukkan komitmen Al-Zaytun dalam mencetak generasi yang holistik. Pada sesi penting ini, panitia menghadirkan narasumber berkompeten, Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si., Rektor Universitas Sahid dan seorang Guru Besar Teknologi Pangan, yang memaparkan materi penting tentang "Peran Teknologi Pangan Sebagai Pilar Ketahanan Pangan Nasional".

Acara "Pelatihan Pelaku Didik Ke-27" ini menjadi panggung kehormatan untuk membahas sebuah isu yang sering terabaikan, namun sesungguhnya adalah masalah fundamental bagi kelangsungan sebuah negara: ketahanan pangan nasional. Materi yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Giyatmi, M.Si., menegaskan bahwa ilmu pengetahuan adalah kunci untuk mengamankan perut bangsa.

Warisan Soekarno dan Janji Kedaulatan Pangan

Pentingnya isu ini bukanlah hal baru. Presiden pertama RI, Ir. Soekarno, telah mewariskan pesan tegas pada 27 April 1952: "Mati hidup bangsa kita di kemudian hari oleh karena soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan." Pernyataan yang dilontarkan saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian (kini IPB University) itu menjadi pengingat abadi bahwa di tangan generasi mudalah masa depan perut bangsa dipertaruhkan.

Selama ini, kita akrab dengan istilah Ketahanan Pangan, yang menurut UU Pangan No. 18 Tahun 2012, berfokus pada terpenuhinya pangan dalam jumlah, mutu, dan ketersediaan yang cukup. Sayangnya, konsep ini masih mentolerir sumber pangan dari impor, seperti yang terlihat pada negara maju minim lahan seperti Singapura. Cita-cita yang lebih mulia bagi Indonesia, sebagai negara agraris-maritim, adalah mencapai Kedaulatan Pangan. Ini berarti bangsa ini harus mampu berdiri tegak, mandiri, dan berdaulat penuh di bidang pangan. Ironisnya, meskipun berlimpah lahan, kita masih menghadapi masalah gizi rendah dan kesulitan akses pangan yang merata.

Emas Hijau Nusantara: Menggali Harta Karun Pangan Lokal

Sebagai negeri tropis, Indonesia dianugerahi keragaman pangan lokal yang luar biasa, jauh melampaui beras. Untuk sumber karbohidrat, kita memiliki cadangan melimpah seperti ketela pohon, jagung, sagu, ubi jalar, hingga sorgum dan jawawut yang potensial.

Di sektor protein, selain ikan laut (yang mendorong rencana besar Al-Zaytun untuk kapal penangkap ikan) dan ikan air tawar, protein nabati kita tak tertandingi. Ada kacang-kacangan, jamur, hingga daun kelor, sebuah superfood lokal yang mudah tumbuh namun kaya protein dan senyawa penting anti-inflamasi. Bahkan, protein hewani pun kini mulai diperhitungkan dari sumber tak terduga seperti serangga. Tentu saja, produk fermentasi andalan seperti Tempe tetap menjadi mahkota pangan fungsional, kaya asam amino dan isoflavon yang melindungi tubuh dari berbagai penyakit.

Kekayaan ini disempurnakan oleh rempah-rempah yang melimpah—jahe, kunyit, cengkeh, hingga andaliman. Rempah ini bukan sekadar bumbu; ia adalah sumber antioksidan vital yang mengukuhkan posisi pangan lokal sebagai pangan fungsional, memberikan manfaat kesehatan di luar nutrisi dasar.

Paradoks Miris: Ketika Pangan Berlimpah, Sampah dan Gizi Menjerat

Meskipun sumber daya melimpah, sistem pangan nasional kita dihantui masalah yang mendasar. Salah satu yang paling kasat mata adalah tingginya susut hasil panen (post-harvest loss) yang terjadi di tingkat produksi dan pengolahan. Ini adalah kerugian ganda: mengurangi ketersediaan dan menurunkan kualitas produk, sering kali akibat penanganan yang kurang tepat, minimnya teknologi, dan infrastruktur yang belum memadai.

Kondisi ini diperparah dengan status Indonesia sebagai salah satu penghasil sampah makanan (food waste) terbesar di dunia. Data menyebutkan, 23 hingga 48 juta ton pangan terbuang setiap tahun (setara 115-184 kg/kapita/tahun) antara tahun 2000-2019. Sisa makanan bahkan menjadi komposisi sampah terbesar secara nasional. Jika dihitung dalam kalori, sekitar seperempat kebutuhan kalori harian kita (614 kkal/kapita/hari) hilang begitu saja dalam rantai pasok.

Di sisi lain, Indonesia juga menghadapi triple burden of malnutrition, yaitu beban gizi ganda tiga: gizi kurang (seperti stunting), gizi lebih (overweight dan obesitas), dan defisiensi zat gizi mikro. Tantangan ini semakin kompleks dengan ancaman perubahan iklim, konversi lahan, dan peningkatan populasi, yang semuanya mendesak perlunya solusi berbasis ilmu pengetahuan.

Masa Depan di Laboratorium: Teknologi Pangan dan Inovasi Tak Terbendung

Di sinilah Teknologi Pangan berperan sebagai jawaban. Ranah ilmu ini berfokus pada diversifikasi pangan, inovasi pengolahan, dan efisiensi melalui digitalisasi.

Saat ini, inovasi telah melangkah jauh, bukan hanya sekadar mengawetkan. Tren global kini didominasi oleh solusi protein berkelanjutan, seperti analog daging nabati (plant-based analog) yang meniru rasa dan tekstur daging dari kedelai atau rumput laut, menawarkan alternatif protein yang lebih hemat lahan dan air. Lebih radikal lagi, ada konsep daging kultur (cultured meat) atau pangan seluler, yaitu daging yang diproduksi dari kultur sel di laboratorium, yang secara signifikan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan kebutuhan lahan.

Selain itu, ilmu pengawetan pun berevolusi. Ada teknologi High Pressure Processing (HPP) yang mengawetkan makanan tanpa panas tinggi agar nutrisi tidak rusak, hingga nanoteknologi pangan yang menciptakan mikroenkapsulasi untuk "menyelimuti" vitamin atau asam lemak esensial agar awet. Semua ini disempurnakan oleh kemasan cerdas (smart packaging) yang mampu menyerap oksigen atau etilen untuk memperpanjang usia simpan secara real-time.

Tak ketinggalan, digitalisasi dan Kecerdasan Buatan (AI) kini merambah manajemen rantai pasok, membantu penyortiran otomatis, mengoptimalkan logistik, hingga mendeteksi kerusakan pada buah, semua demi mengurangi susut dan limbah pangan secara masif.

Jaminan di Balik Kemasan: Menepis Ketakutan Pangan Modern

Dalam era konsumsi cepat, muncul kekhawatiran masyarakat terhadap Ultra Processed Food (UPF) dan penggunaan bahan aditif sintetis. Peran teknologi pangan di sini adalah sebagai penjamin keamanan. Tidak semua masyarakat memiliki akses ke produk segar setiap saat, terutama di 17 ribu pulau Indonesia. Industri pangan hadir untuk menciptakan produk yang aman, bergizi, dan memiliki umur simpan panjang.

Para ahli teknologi pangan dan industri memiliki kewajiban untuk mematuhi regulasi ketat yang diatur oleh Badan POM, yang senantiasa mengacu pada standar internasional Kodeks (WHO dan FAO). Setiap produk yang legal harus terkontrol. Penyimpangan (seperti penggunaan formalin atau pewarna terlarang) adalah tindakan kriminal yang dikategorikan sebagai abuse oleh oknum, bukan kegagalan dari ilmu teknologi pangan itu sendiri.

Mengenai hilangnya gizi akibat pengolahan, para ahli bekerja dengan perhitungan cermat. Dalam proses sterilisasi, misalnya, mereka menerapkan konsep sterilisasi komersial, yaitu batas pemanasan yang bertujuan mematikan mikroba berbahaya dan memperpanjang umur simpan, sambil memperhitungkan dan meminimalisir potensi kerusakan gizi, bukan menghilangkannya sama sekali.

Refleksi untuk Indonesia yang Lebih Sejahtera

Teknologi pangan, pada intinya, adalah ilmu untuk kemandirian dan keberlanjutan. Ia bukan hanya berbicara tentang makanan di piring kita hari ini, melainkan menjamin bahwa piring cucu kita di masa depan akan tetap terisi.

Kunci sukses bangsa ini ada pada tiga pilar utama: Diversifikasi pangan lokal yang kaya, Inovasi pengolahan untuk meningkatkan nilai tambah dan menekan kerugian, serta Digitalisasi sistem pangan agar lebih efisien dan merata. Dengan memeluk ilmu ini, kita dapat menanggulangi sampah makanan yang memalukan, mengatasi krisis gizi, dan mewujudkan janji para pendiri bangsa.

Teknologi pangan adalah jembatan antara kekayaan alam Indonesia yang melimpah dan kebutuhan masyarakat yang terus meningkat. Ketika kita mampu berdiri tegak dengan pangan sendiri—sehat, aman, bergizi, dan berkelanjutan—saat itulah kita benar-benar mencapai kedaulatan, fondasi kokoh menuju Indonesia yang adil dan sejahtera.