lognews.co.id , Indonesia - Transformasi pendidikan nasional menjadi agenda strategis dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, terutama dalam menjawab tantangan abad ke-21. Ma’had Al-Zaytun, di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, menjadi pionir dalam pelaksanaan pelatihan pelaku didik berkelanjutan yang menandai komitmen kuat terhadap pengembangan budaya toleransi, perdamaian, dan pembentukan masyarakat modern berbasis boarding school terintegrasi di 500 titik di Indonesia dengan lahan 3.000 hektare di tiap titiknya. Inisiatif ini bertujuan menciptakan sistem pendidikan yang setara, berdaulat, dan adaptif terhadap dinamika global, menuju masyarakat 6.0 . Minggu, (8/6/25).
Pemateri disesi ke-2 pelatihan pelaku didik yang berkelanjutan dengan tema besar menuju transformasi revolusioner pendidikan berasrama demi terwujudnya Indonesia modern abad XXI dan usia 100 tahun kemerdekaan yang dilaksanakan di Masjid Rahmatan Lil Alamin, Al – Zaytun dengan pembicara Prof. Drs. Triyono Bramantyo, M.Mus.Ed., Ph.D. seorang guru besar dibidang seni, menggali diskusi carut marut pendidikan Indonesia akan selesai dengan one pipe education yang dipraktikkan di Ma’had AL – Zaytun
Menurut Prof. Triyono carut-marut pendidikan nasional yang selama ini terjadi didunia Pendidikan Indonesia meliputi:
- Kurikulum yang belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan abad ke-21.
- Minimnya integrasi nilai toleransi, kreativitas, dan teknologi dalam pembelajaran.
- Pola pengajaran tradisional yang masih dominan, kurang partisipatif dan reflektif.
- Kesenjangan akses dan mutu pendidikan antar wilayah.
- Lemahnya sinergi antara pendidikan seni, sains, dan teknologi.
Prof. Triyono menjelaskan konsep one pipe education yang diterapkan Al – Zaytun dapat menghemat waktu dan biaya, serta meningkatkan kualitas pendidikan melalui bimbingan dan pendampingan berkelanjutan. Sistem ini telah berhasil diterapkan di beberapa negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, sehingga masalah seperti tawuran, makan bergizi gratis, hingga ketidakmerataan fasilitas dan hak anak didik bangsa Indonesia dalam menjangkau pendidikan, bisa tuntas dengan gagasan radikal dengan mengubah total sistem Pendidikan Indonesia, karena pemerintah menurutnya tidak boleh setengah setengah untuk kemajuan sebuah bangsa.
Menurutnya, pembelajaran musik tidak hanya bertujuan agar anak-anak SD berlatih musik hingga mahir atau menjadi musisi profesional di tingkat SMA, tetapi lebih penting lagi adalah menanamkan jiwa seni yang mendalam. Jiwa seni ini akan menciptakan lingkungan sosial Indonesia yang bernilai luhur, santun, dan berjiwa besar, sebagai solusi untuk membentuk warga negara yang berkeluasan hati, santun dalam sikap, dan jauh dari kekerasan serta pertikaian. Dengan demikian, pendidikan seni menjadi instrumen strategis untuk membangun karakter bangsa yang harmonis dan damai.
Dalam penjelasannya Prof. Triyono mengungkapkan model one pipe education seperti di Jepang telah memasukkan seni sebagai kurikulum inti, khususnya music, dan memberikan masukan agar di Ma’had AL-Zaytun membentuk orkestra internasional Al-Zaytun, karena sangat memungkinkan dan bisa sebagai pengembangan toleransi dan perdamaian.
Menurutnya kegiatan kesenian yang memiliki aneka ragam instrument dan keterampilan bisa terintegrasi dalam satu kesatuan dan dikembangkan dengan penekanan khusus pada pendidikan seni, terutama musik, sebagai wahana utama pengembangan nilai toleransi dan perdamaian.
Pembentukan Orkestra Internasional Al-Zaytun dinilai menjadi model kurikulum seni yang berakar pada pengalaman hidup para pelajar yang berasal dari berbagai latar belakang nilai dan karakter. Orkestra ini berfungsi sebagai bahasa universal perdamaian yang mampu menembus batas perbedaan dan intoleransi, sekaligus membangun persatuan bangsa melalui ekspresi seni yang luas dan inklusif, memungkinkan pengembangan potensi peserta didik secara berkelanjutan dalam ekosistem Pendidikan yang tidak terputus seperti di Al-Zaytun sesuai dengan arah dan tujuan Pendidikan Al-Zaytun yaitu “berketrampilan tinggi yang tersimpul dalam basthotan fi al-'ilmi wa al-jismi sehingga sanggup siap dan mampu untuk hidup secara dinamis di lingkungan negara bangsanya dan masyarakat antarbangsa”.
Dikemukakan oleh Prof. Triyono beberapa landasan teori dan referensi buku yaitu:
1. Studio Habits of Mind (SHoM)
Buku utama yang menjadi rujukan adalah “Studio Thinking: The Real Benefits of Visual Arts Education” oleh Lois Hetland, Ellen Winner, Shirley Veenema, dan Kimberly M. Sheridan (2007). Buku ini memperkenalkan kerangka Studio Habits of Mind (SHoM), yang dikembangkan oleh Project Zero, Harvard University. SHoM mengidentifikasi delapan kebiasaan berpikir yang penting dalam pendidikan seni visual:
1. Develop Craft: Mengembangkan keterampilan teknik dan penggunaan alat.
2. Engage & Persist: Melatih ketekunan dan fokus dalam menghadapi tantangan.
3. Envision: Membayangkan solusi dan langkah dalam proses kreatif.
4. Express: Mengekspresikan ide dan perasaan melalui karya.
5. Observe: Mengamati secara kritis dan mendalam.
6. Reflect: Merefleksikan proses dan hasil karya.
7. Stretch & Explore: Berani bereksperimen dan belajar dari kesalahan.
8. Understand Art Worlds: Memahami konteks sejarah dan praktik seni masa kini.
2. STEAM Education
Referensi penting lain adalah artikel “Exploring the Exemplary STEAM Education in the U.S. as a Practical Educational Framework for Korea” oleh Georgette Yakman & Hyonyong Lee (2012), yang menekankan integrasi Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM) dalam kurikulum. Korea dan Jepang terbukti sukses menerapkan STEAM untuk mendorong inovasi dan kemajuan ekonomi.
3. Pembelajaran Interaktif dan Teater
Buku “Games for Actors and Non-Actors” karya Augusto Boal (1992) menjadi acuan dalam mengembangkan metode pembelajaran interaktif berbasis teater. Boal menekankan teknik seperti Forum Theatre yang melibatkan penonton aktif dan dapat menggantikan aktor yang dinilai kurang cocok dalam membawakan peran untuk bisa digantikannya atau mencari solusi, Image Theatre yaitu menggunakan ekspresi tubuh tanpa kata, sementara Invisible Theatre adalah pertunjukan di ruang publik tanpa penonton sadar, bertujuan memicu refleksi sosial. Hal ini bertujuan untuk memberdayakan siswa dalam mengidentifikasi dan mengatasi bentuk penindasan melalui partisipasi aktif dan refleksi social. Untuk itu kurikulum seni harus mengintegrasikan aspek kognitif, afektif, sosial, dan spiritual, serta memanfaatkan teknologi digital untuk pembelajaran yang inovatif dan partisipatif.
Pembelajaran juga didukung oleh permainan yang meningkatkan observasi, rasa ingin tahu, dan ekspresi kreatif peserta, maka guru diarahkan memiliki penguatan peran guru sebagai fasilitator dengan dilatih secara berkelanjutan untuk menjadi kurator dan fasilitator kreatif, bukan sekadar pengajar melalui beberapa terapan:
1. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek dan Partisipatif
Model pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) dan partisipatif (participatory learning) mendorong siswa aktif, kreatif, dan kolaboratif.
2. Integrasi Nilai Budaya Lokal
Nilai-nilai lokal harus menjadi sumber inspirasi dalam pengembangan kurikulum seni untuk memperkuat identitas dan karakter bangsa.
3. Kolaborasi Lintas Lembaga
Diperlukan kolaborasi aktif antara sekolah, komunitas seni, dan lembaga budaya untuk memperluas akses dan kualitas pendidikan seni.
4. Penguatan Infrastruktur Digital
Pemerataan akses teknologi dan infrastruktur digital di seluruh wilayah menjadi kunci keberhasilan transformasi pendidikan1.
5. Pengembangan Penelitian dan Dokumentasi
Inovasi model pendidikan seni perlu didukung penelitian berkelanjutan dan dokumentasi praktik baik.
4. Seni menurut Paulo Freire
Dalam konteks Pendidikan, penindasan dan ketidak adilan bisa digambarkan oleh seorang guru yang menilai murid sebagai bank sehingga prosesnya hanya satu arah, kaku, dan tidak mengajak ataupun melarang peserta didik untuk menggunakan daya kritisnya. Paulo Freire melihat bagaimana orang kuat merendahkan masyarakat lemah melalui cara-cara halus, tetapi menindas. Melalui buku ini, Paulo Freire mengkritik keras model pendidikan penindasan.
Kemudian dalam konteks pendidikan seni, setiap karyanya bukan hanya tentang mengekspresikan diri tapi juga bisa menjadi cara untuk melawan ketidakadilan, merefleksikan keadaan sosial, dan membebaskan orang dari penindasan. Jika digunakan dengan sadar dan kritis, seni bisa membantu orang berdialog dan menyadari realitas di sekitar mereka, sehingga mendorong perubahan sosial.
Kemudian dalam pemaparannya, Prof. Triyono menganggap Al-Zaytun dan Syaykh Panji Gumilang sebagai pemimpinnya adalah seorang conductor hebat, semua instrumen Pendidikan di ekosistem Pendidikan yang tidak terputus dibunyikan secara harmoni hinga bunyi sekecil apapun, bahkan konsep kampus terdampak yang dicanangkan pemerintah nyata dibuktikan melalui keterlibatan petani dari warga sekitar, dan pembagian kurban di tiap lebaran, kemudian siswa yang membuat kapal dan meneliti padi dari mulai tanam hingga menjadi bulir hal tersebut dinilai oleh Prof. Triyono hanya terfikirkan oleh orang yang visioner bahkan melampaui zaman, salah satu yang Ia sedang membersamainya yaitu berada dalam satu simposium “menuju transformasi revolusioner pendidikan berasrama demi terwujudnya Indonesia modern abad XXI dan usia 100 tahun kemerdekaan”.
Selanjutnya, Prof. DR. Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, M.P. menanggapi bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan sekitar 6.000 pulau yang tersebar secara geografis dan budaya sangat beragam. Kondisi ini menimbulkan tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan pendidikan yang merata dan efektif. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan Indonesia tidak dapat serta-merta mengadopsi model negara lain secara utuh tanpa mempertimbangkan konteks lokal dan nasional yang khas.
Dalam diskusi yang berlangsung pada penghujung acara pelatihan pelaku didik berkelanjutan di sesi ke-2 di Masjid Rahmatan Lil Alamin, Ma’had Al-Zaytun, Syaykh Panji Gumilang memberikan pandangan kritis dan visioner terkait pengembangan kurikulum pendidikan nasional Indonesia, kemudian ditambahkan oleh Syaykh Panji Gumilang huruf “L” untuk “Law” dalam Kurikulum Pendidikan Indonesia menjadi “LSTEAM” Ia menegaskan bahwa meskipun banyak negara maju seperti Jepang, Korea, dan Amerika telah menerapkan model pendidikan yang maju dan terintegrasi, Indonesia memiliki karakteristik unik yang mengharuskan pendekatan berbeda dalam perancangan kurikulum.
Syaykh mencontohkan Seni Orkestra membutuhkan Law seperti menerapkan disiplin sebagai fondasi utama keberhasilan. Tanpa disiplin yang kuat maka tidak terjadi orkestra yang harmoni.
Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) menuntut setiap aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan teknologi, berlandaskan aturan dan norma hukum yang jelas, Ilmu pengetahuan (science) tanpa dasar hukum yang kuat dapat mengarah pada penyalahgunaan atau pengembangan teknologi yang tidak bertanggung jawab, Engineering dan mathematics yang diaplikasikan tanpa regulasi hukum dapat menimbulkan dampak negatif sosial dan lingkungan. Tanpa adanya regulasi dan disiplin, seni dapat kehilangan arah dan nilai-nilai luhur yang menjadi jati diri bangsa.
Transformasi pendidikan di Ma’had Al-Zaytun menawarkan solusi komprehensif bagi problematika pendidikan di Indonesia, dengan sistem one pipe education, integrasi seni dan digital, penguatan peran guru, serta kolaborasi lintas sektor. Model ini relevan untuk diterapkan secara nasional dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045 yang modern, toleran, dan berdaya saing global. (Amri-untuk Indonesia)