Monday, 04 August 2025

"PHRI Minta Pemerintah Tinjau Ulang Aturan Royalti Musik untuk Restoran dan Kafe Setelah Kasus Mie Gacoan

Star InactiveStar InactiveStar InactiveStar InactiveStar Inactive
 

lognews.co.id, Jakarta - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) meminta pemerintah meninjau kembali regulasi pembayaran royalti musik bagi pelaku usaha di sektor restoran dan kafe. Hal ini muncul menyusul kasus PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan Bali) yang dituding melanggar hak cipta karena tidak membayar royalti musik dengan nilai yang ditaksir mencapai miliaran rupiah. PHRI menilai skema pembayaran royalti saat ini terlalu membebani pelaku usaha, terutama setelah pandemi dan di tengah tantangan ekonomi.

Aturan pembayaran royalti ini diatur dalam Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 yang menetapkan tarif royalti sebesar Rp 60.000 per kursi per tahun untuk royalti pencipta dan Rp 60.000 per kursi per tahun untuk royalti hak terkait, sehingga totalnya mencapai Rp 120.000 per kursi per tahun. Dengan jumlah kursi yang besar di outlet seperti Mie Gacoan Bali, biaya royalti bisa sangat besar setiap tahunnya.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa pelaku usaha yang memutar musik secara komersial di ruang publik, termasuk restoran, kafe, gym, dan hotel, wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Ini berlaku meskipun usaha sudah berlangganan layanan streaming pribadi seperti Spotify atau YouTube Premium karena lisensi tersebut bersifat personal dan tidak mencakup penggunaan komersial.

PHRI menyoroti ketidakrelevanan skema pembayaran berdasarkan jumlah kursi, karena belum tentu semua kursi terisi setiap hari. Mereka mengusulkan peninjauan ulang agar pembayaran royalti lebih adil dan rasional, bisa mempertimbangkan fluktuasi pendapatan usaha serta apakah musik yang diputar memberikan manfaat promosi atau tidak. PHRI juga menekankan perlunya dialog terbuka antara semua pihak agar regulasi tidak membebani dunia usaha secara berlebihan.

Mekanisme pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. LMKN bertanggung jawab menghimpun dan mendistribusikan royalti, serta menerbitkan lisensi yang memberikan legalitas pemutaran musik di tempat komersial, sehingga pelaku usaha tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari pencipta lagu.

Terkait keberatan pelaku usaha, DJKI menyatakan terdapat mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berdasarkan ukuran usaha, kapasitas pengunjung, dan tingkat pemanfaatan musik. Mereka mengimbau pelaku UMKM agar mengajukan permohonan resmi keringanan untuk mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan penting tentang keseimbangan antara perlindungan hak cipta dan keberlangsungan usaha di sektor restoran dan kafe. PHRI berharap pemerintah membuka ruang dialog untuk mencari solusi yang adil serta memberikan perlindungan hak cipta yang efektif tanpa memberatkan pelaku usaha, terutama dalam kondisi ekonomi yang menantang saat ini. (Amri-untuk Indonesia)