(Disarikan dari Dzikir Jumat Syaykh Al Zaytun oleh Ali Aminulloh)
lognews.co.id, Jumat, 25 Juli 2025 menjadi hari yang istimewa di Masjid Rahmatan Lil Alamin, Mahad Al Zaytun. Seperti agenda rutin, Syaykh Al Zaytun AS. Panji Gumilang menyampaikan dzikir Jumat dan berbagi kabar gembira mengenai progres dari para pelajar ekstrakurikuler pertanian. Di tengah hamparan hijau yang membentang luas, proyek penelitian dan percobaan tanaman padi ratoon mereka menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hanya dalam satu pekan lagi, panen ratoon pertama akan tiba.
Antusiasme menyelimuti jamaah ketika Syaykh Panji Gumilang menjelaskan bahwa panen kali ini bukan sekadar akhir dari sebuah siklus, melainkan ada fase penelitian selanjutnya. Fokus utama adalah menguji potensi ratoon padi untuk panen ratoon kedua. Jika hasilnya optimal, metode ini berpotensi menjadi pola tanam baru yang sangat efisien dan berkelanjutan, memastikan ketersediaan pangan yang berkesinambungan.
Dari Padi ke Gula: Menjawab Tantangan Impor Nasional
Kesuksesan dalam budidaya padi, baik bagi pelajar yang baru pertama kali mencoba maupun yang sudah berpengalaman, menjadi fondasi kuat untuk tantangan berikutnya: budidaya tebu. Syaykh Panji Gumilang memaparkan sebuah visi besar yang lahir dari keprihatinan mendalam terhadap ketergantungan impor gula nasional yang hampir mencapai 100%. Dengan bekal pengalaman dari percobaan padi, para pelajar kini diarahkan untuk menghasilkan gula secara mandiri melalui skala penelitian dan pelatihan pertanian.
Diskusi dengan pensiunan pegawai pabrik gula di Jati Tujuh, Majalengka, mengungkapkan fakta menarik: hasil tertinggi yang pernah dicapai petani lokal, bahkan dengan perhatian khusus dan panen pertama, hanya sekitar 10 ton per hektar. Angka ini juga menjadi rata-rata di banyak negara lain. Tantangan besar pun muncul: mampukah Mahad Al Zaytun mencapai 10 ton gula per hektar?
Perhitungan ekonomi menunjukkan potensi ekonomi yang signifikan. Jika 10 ton gula dapat dipanen per hektar, Mahad Al Zaytun berhak atas 66% atau setara dengan 6.600 kg. Dengan harga gula Rp 14.000 per kg, total pendapatan bisa mencapai Rp 92.400.000. Namun, Syaykh Panji Gumilang tidak menutupi realitas biaya produksi yang tinggi, terutama untuk bibit tebu (Rp 140.000 per kuintal atau Rp 1.400 per kg, dan memerlukan 8 ton bibit per hektar, senilai Rp 11.200.000), biaya olah lahan, panen, hingga angkutan ke pabrik gula.
“Jika sistemnya seperti ini, memang tidak menguntungkan,” ungkap Syaykh Panji Gumilang dengan jujur. “Tapi kita tetap mencobanya. Ini adalah upaya untuk meneliti bagaimana agar biayanya tidak mahal, bagaimana agar kita tidak perlu repot mengangkut tebu.” Visi yang lebih besar adalah menghadirkan penggilingan gula langsung di lahan, memutus mata rantai biaya yang panjang dan menjadikan proses lebih efisien. Bagi Syaykh, ini adalah hal biasa, namun bagi para pelajar, ini adalah pelajaran nyata yang tak ternilai harganya.
Menjelajah Lebih Jauh: Jagung, Kedelai, dan Kacang Tanah
Setelah padi dan tebu, ekstrakurikuler pertanian akan merambah ke komoditas strategis lainnya: jagung. Dengan demikian, para pelajar akan memiliki pemahaman komprehensif tentang budidaya padi, tebu, dan jagung. Jika waktu memungkinkan, mereka juga akan diperkenalkan pada budidaya kedelai dan kacang tanah, dua sumber protein dan minyak goreng esensial. Setiap komoditas akan diteliti secara mendalam untuk menemukan cara tanam terbaik, memastikan hasil optimal dan berkelanjutan.
Untuk proyek tebu, 11 hektar lahan telah disiapkan, dengan 5 hektar di antaranya sudah selesai diolah. Para penanggung jawab ekstrakurikuler telah bersiap penuh karena bulan Agustus adalah waktu ideal menanam tebu agar panen dapat dilakukan 8 bulan kemudian dalam kondisi kering dengan kadar gula tinggi. Mereka sedang mempersiapkan berapa hektar yang mampu dikelola oleh pelajar, memastikan efektivitas dan efisiensi.
Sementara itu, padi tetap menjadi kompetensi awal yang dipertahankan dalam ekstrakurikuler pertanian. Para penanggung jawab diminta untuk mempersiapkan lahan tebu pada tanggal 29-30 Juli, memastikan kesiapan optimal untuk penanaman.
Ekonomi Pertanian Berbasis Keadilan Sosial
Keberhasilan proyek ini bukan hanya tentang angka-angka produksi, melainkan juga tentang pembelajaran hidup. Syaykh Panji Gumilang menekankan pentingnya pelaporan langsung dari para pelajar. “Baru guru yang melaporkan. Pelajarnya belum,” ujarnya. “Maka, dari mulai menanam, memproses, sampai melaporkan, semuanya harus dilakukan oleh pelajar.”
Pola pembagian hasil panen akan mengikuti sistem yang adil dan transparan, mirip dengan P3KPI (Paguyuban Petani Penyangga Ketahanan Pangan Indonesia). Semua modal diambil terlebih dahulu, lalu hasilnya dibagi dua. Ini adalah praktik nyata “keadilan sosial dalam ekonomi pertanian”, memastikan bahwa pelajar memahami korelasi antara usaha dan hasil. Pola ini juga akan diterapkan pada proyek tebu, meskipun dengan modal yang lebih besar. Sementara petani biasanya hanya mendapat 40%, pelajar Mahad Al Zaytun akan merasakan pembagian hasil yang lebih adil.
Epilog: Menempa Karakter, Membentuk Masa Depan
Ini bukan sekadar pelajaran pertanian; ini adalah praktek kehidupan. Para pelajar tidak hanya menanam dan meneliti, tetapi juga belajar mengelola hasil, memanfaatkan potensi yang ada, dan merasakan langsung buah dari kerja keras mereka. Dengan kas yang besar dari hasil panen, para pelajar kelak dapat membiayai perjalanan edukatif mereka, bahkan suatu saat mampu memberikan beasiswa kepada sesama pelajar yang membutuhkan. Mereka akan belajar bermusyawarah, menyelesaikan persoalan bersama dengan bimbingan guru.
Para guru di Mahad Al Zaytun berperan sebagai fasilitator, membimbing pelajar untuk menemukan solusi atas setiap tantangan yang mereka hadapi. Melalui pertanian, Mahad Al Zaytun sedang menanam benih-benih kemandirian, inovasi, dan keadilan sosial. Mereka tidak hanya menghasilkan pangan, tetapi juga menciptakan generasi yang berdaya, visioner, dan siap menghadapi masa depan, menjadi pionir dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional yang berkelanjutan.