الثلاثاء، 12 آب/أغسطس 2025

Kesenian Sampyong Indramayu Bangkit Kembali

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

lognews.co.id – Kesenian tradisional Sampyong, pertunjukan adu ketangkasan pukulan dengan tongkat rotan khas Indramayu, mulai ramai diperbincangkan lagi. Selama puluhan tahun seni ini nyaris hilang hingga dianggap terancam punah karena pertunjukan yang makin langka. Baru-baru ini muncul kembali festival Sampyong sebagai bagian dari upaya pelestarian warisan budaya tersebut. Misalnya, Sanggar Kedung Penjalin menggelar Festival Kesenian Sampyong di desa Tugu (Sliyeg) pada November 2022 sebagai langkah merevitalisasi tradisi yang hampir mati.

Sejarah dan Asal-usul

Menurut tradisi lisan, Sampyong pertama kali diperkenalkan oleh Ki Dampu Awang (Syekh Dampu Awang), seorang muslim keturunan Tionghoa yang menetap di Indramayu sekitar abad ke-15. Nama “Sampyong” diyakini berasal dari bahasa Mandarin: sam berarti tiga dan pyong berarti pukulan. Konon, pada awalnya permainan rotan ini digunakan untuk menyeleksi keberanian prajurit di masa Dinasti Yuan, lalu berevolusi menjadi hiburan rakyat pelengkap tradisi Unjungan (perayaan panen) di Jawa Barat. Tradisi tersebut berkembang di daerah dermayu (Indramayu) serta kawasan Cirebon dan Majalengka. Dalam cerita rakyat setempat disebutkan bahwa persaingan antara Ki Dampu Awang dengan tokoh sakti Ki Ageng Tugu melahirkan cikal bakal pertunjukan Sampyong di Desa Tugu.

Elemen Pertunjukan Sampyong

Secara umum, dua orang pemain atau jawara menampilkan atraksi memukul kaki lawan dengan tongkat rotan panjang (sekitar 60–100 cm). Aturan permainan membatasi maksimum tiga pukulan per giliran. Pertandingan dimulai setelah wasit (garet) melemparkan dua tongkat sebagai tanda tanda duel siap dimulai. Saat itu, pemukul dan penerima giliran bertukar pukulan hingga salah satu pihak terkena tiga kali hingga dinyatakan kalah. Para penonton biasanya berdiri mengelilingi arena terbuka, menciptakan suasana persaingan yang intens.

Musik pengiring memainkan peran penting dalam menciptakan nuansa sakral. Iringan gamelan tradisional (gong, kenong, kendang) ditabuh dengan irama monoton dan ritmis selama adu ketangkasan berlangsung. Suara musik gamelan yang berulang-ulang itu dipandang memberi kekuatan dan semangat pada para jawara. Dua alat musik utama kemong dan kendang menambah kesan magis pertunjukan Sampyong. Elemen-elemen ini menjadikan Sampyong lebih dari sekadar hiburan olahraga; banyak yang menganggapnya juga memuat muatan spiritual dan tradisi.

Peran dalam Budaya Lokal

Di masa lalu, kesenian Sampyong lekat dengan tradisi agraris masyarakat Indramayu. Pertunjukan ini biasanya digelar setelah musim panen padi, sebagai bagian dari upacara Unjungan (tradisi selamatan panen) dan hajatan rakyat lainnya. Sepanjang 1970–1990an, lomba Sampyong rutin diadakan di desa-desa seperti Tugu, Gabuswetan, Terisi, dan sekitarnya. “Era 80–90-an masih ramai, terutama di Desa Tugu”, kenang para sesepuh (data laporan detikJabar). Jawara kesenian ini tak hanya bertanding untuk memamerkan keberanian, tetapi juga sering dipercaya memiliki ilmu kebal. Banyak pemain yang sebelum bertanding ‘memagari’ tongkatnya dengan wirid atau jampi-jampi agar lebih ampuh. Kepercayaan seperti ini memberi warna mistis pada pertunjukan Sampyong.

Namun akhir-akhir ini tradisi itu mulai kehilangan pamor. Seiring bertambahnya usia jawara-jawara tuan rumah, jumlah pegiat menipis. Pertunjukan Sampyong semakin jarang terlihat, karena selain menua, arena adu kadang memicu keributan antar penonton. Risiko cedera pun tinggi, mengingat sabetan rotan bisa mematahkan tulang betis atau kaki lawan. Meski begitu, belum tercatat ada fatalitas permanen; umumnya setiap jawara memiliki pawang atau pengobatan tradisional yang menunggu di pinggir arena. Kondisi inilah yang mendorong penggiat seni untuk mencari cara baru melestarikan Sampyong agar tak punah. (Sahil Untuk Indonesia)