lognews.co.id – Di tengah modernisasi yang terus berkembang, masyarakat pedesaan di Jawa Barat dan Jawa Tengah tetap melestarikan tradisi turun-temurun sebagai bentuk kearifan lokal. Salah satunya adalah Mapag Sri, upacara adat yang digelar menjelang musim panen sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas hasil bumi yang melimpah.
Secara etimologis, Mapag Sri berasal dari bahasa Jawa halus. “Mapag” berarti menjemput, dan “Sri” merujuk pada padi, yang dalam budaya agraris disimbolkan sebagai sumber kehidupan. Maka dari itu, Mapag Sri bermakna menjemput padi yakni panen yang dinanti-nantikan.
Meski digelar secara sederhana, upacara ini sarat akan nilai spiritual dan kebersamaan. Sebelum pelaksanaan, kepala desa bersama sesepuh dan tokoh masyarakat menggelar rembug desa atau musyawarah untuk menentukan waktu dan sumber dana yang dibutuhkan. Bila disepakati, warga kemudian melakukan iuran secara gotong royong sesuai kemampuan masing-masing.
Pelaksanaan Mapag Sri umumnya dilakukan setelah upacara Baritan dan Sedekah Bumi, yang juga merupakan bagian dari rangkaian tradisi pertanian. Panitia biasanya dibentuk dari warga yang sebelumnya terlibat dalam Baritan, menunjukkan kesinambungan dalam struktur sosial dan budaya desa.
Namun demikian, tradisi ini tidak selalu bisa digelar setiap tahun. Faktor keamanan, bencana alam, atau gagalnya hasil panen kerap menjadi kendala tersendiri. Walau demikian, semangat masyarakat dalam mempertahankan budaya ini tetap hidup.
Dengan iring-iringan hasil bumi, doa-doa yang dipanjatkan bersama, serta hiburan tradisional yang mengiringi prosesi, Mapag Sri menjadi simbol hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Tradisi ini bukan sekadar seremoni budaya, tetapi juga refleksi ketangguhan petani dalam menjaga warisan leluhur di tengah tantangan zaman. (sahil untuk Indonesia)