الإثنين، 04 آب/أغسطس 2025

Menyingkap Makna "Thawaf" dan "Tanah Suci" di Al-Zaytun: Sebuah Jendela Literasi dan Pemahaman Komprehensif

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

(Seri mengenal tradisi-tradisi di Al Zaytun)

 Oleh Ali Aminulloh 

Dalam lanskap pemahaman keagamaan dan kebangsaan Indonesia, istilah-istilah seperti "Thawaf" dan "Tanah Suci" seringkali memicu perdebatan, terutama ketika dihubungkan dengan institusi pendidikan seperti Al-Zaytun. Reaksi kaget, bahkan tuduhan "ngeres" yang menganggap Al-Zaytun melarang haji atau memindahkan kiblat ke Indonesia, kerap muncul akibat minimnya literasi dan pemahaman kontekstual. Padahal, makna di balik istilah-istilah tersebut jauh lebih kaya dan beralasan, sebagaimana yang diterapkan dalam praktik di Al-Zaytun.

 Makna Linguistik dan Konteks Keagamaan: Meluruskan Persepsi

Ketika pemandu tamu di Al-Zaytun menawarkan "thawaf", sebagian orang mungkin terkejut, bahkan ada yang menuduh Al-Zaytun "melarang haji" atau menganggap "hajinya cukup di Al-Zaytun". Tuduhan serupa muncul ketika Civitas Al-Zaytun menyebut Indonesia sebagai "tanah suci", yang lantas diasumsikan sebagai "haji di Indonesia". Persepsi-persepsi ini, yang seringkali bersifat menghakimi, berangkat dari pemahaman yang sempit dan kurangnya eksplorasi makna.

Secara etimologi, kata "Thawaf" (طواف) berarti "berkeliling" atau "mengelilingi". Makna ini tidak bisa dimonopoli hanya untuk konteks mengelilingi Ka'bah sebagai salah satu rukun haji. Dalam Al-Qur'an, konsep berkeliling atau dikelilingi dapat ditemukan dalam beberapa ayat. Misalnya, dalam Surat Al-Waqi'ah (56):17, disebutkan tentang "pemuda-pemuda yang senantiasa berkeliling (melayani) mereka." Demikian pula dalam Surat Al-Insan (76):19, digambarkan "pemuda-pemuda yang tetap muda berkeliling di antara mereka." Kedua ayat ini menunjukkan makna "thawaf" sebagai aktivitas berkeliling secara umum, bukan hanya terbatas pada ibadah haji. Barulah dalam konteks rukun haji, seperti di Surat Al-Baqarah (2):125 dan Al-Hajj (22):26, "thawaf" merujuk pada ritual mengelilingi Ka'bah. Hal ini menunjukkan bahwa makna sebuah kata dapat bervariasi sesuai konteks penggunaannya.

Begitu pula dengan frasa "tanah suci". Banyak yang secara otomatis mengaitkannya dengan Arab Saudi, khususnya Mekah dan Madinah. Namun, dalam konteks kebahasaan dan historis, "tanah suci" sebenarnya lebih merujuk pada "Baitul Maqdis" (بيت المقدس) atau Jerusalem, yang berlokasi di Palestina. Frasa ini diterjemahkan dari bahasa Ibrani "Har HaBayit" atau "Kota Suci". Sementara itu, Mekah dikenal sebagai Makkah Al-Mukarramah (مكة المكرمة), yang berarti "kota yang dimuliakan". Bahkan, dalam lirik lagu kebangsaan kita, "Indonesia Raya stanza ke-3", terdapat bait "Indonesia tanah yang suci. Tanah kita yang sakti. Disanalah aku berdiri jaga ibu sejati.....". Indonesia tanah yang suci, ..." Ini menunjukkan bahwa konsep "tanah suci" juga dapat merujuk pada tanah air sendiri, sebagai bentuk penghargaan dan rasa memiliki yang mendalam. Keterbatasan literasi seringkali menjadi pangkal tuduhan yang mudah dilontarkan, tanpa upaya mendalam untuk memahami konteks dan sejarah di balik suatu istilah.

 "Thawaf" Ala Al-Zaytun: Menelusuri Ekosistem Pendidikan Terpadu

Di Al-Zaytun, konsep "thawaf" dimaknai dalam bentuk kunjungan berkeliling kampus yang terencana dan edukatif bagi para tamu. Ini adalah cara Al-Zaytun memperkenalkan visi, misi, dan ekosistem pendidikan mereka secara komprehensif. Proses "thawaf" tamu ini diawali dengan penerimaan di Wisma Tamu Al-Islah, di mana petugas memberikan pengantar tentang sejarah, program, hingga sistem pemakanan di Al-Zaytun. Setelah itu, tamu diajak berkeliling kampus dengan rute yang telah ditetapkan, mencakup berbagai aspek kehidupan dan pendidikan di sana:

1. Sekretariat Pendidikan: Tamu diberikan pemahaman mendalam tentang visi dan misi Al-Zaytun, spesifikasi dan sistem pendidikan, Mars Al-Zaytun, serta penjelasan mengenai Indonesia Raya 3 Stanza yang menjadi bagian dari identitas kebangsaan mereka. Site plan kampus, kurikulum, agenda kegiatan 24 jam pelajar, hingga akreditasi satuan pendidikan juga dijelaskan secara rinci, menunjukkan transparansi dan komitmen Al-Zaytun terhadap kualitas pendidikan.

2. Institusi Pendidikan Formal: Kunjungan ke Gedung HM Soeharto memperlihatkan perguruan tinggi Al-Zaytun, termasuk visi, misi, dan Mars IAI (Institut Agama Islam) Al-Zaytun. Kemudian, Gedung Utsman menjadi lokasi kunjungan untuk melihat aktivitas pembelajaran tingkat Aliyah dan laboratorium komputer, sedangkan Gedung Ali menampilkan kegiatan pembelajaran tingkat MTs, menyoroti jenjang pendidikan yang terintegrasi.

3. Praktikum Vokasi: Kembali ke workshop ekstrakurikuler, tamu diajak meninjau proses pembuatan kapal dari A-Z yang dijelaskan langsung oleh para pelajar. Di area pertanian, tamu dapat melihat lahan padi dan praktik penanaman padi Koshihikari yang diusahakan oleh para pelajar, menunjukkan kemandirian dan keterlibatan aktif dalam produksi pangan.

4. Pusat Industri Terpadu: Inilah salah satu poin unik dari "thawaf" Al-Zaytun. Tamu diajak ke rumah potong ayam, menyaksikan proses pemotongan modern, pengolahan, hingga penyimpanan di Air Blast Freezer (ABF) bersuhu -30°C dan cold storage bersuhu -20°C. Kunjungan berlanjut ke cold storage penyimpanan ikan tuna dan pengolahannya. Yang paling menarik adalah "Istana Beras", tempat prosesing padi dari penyortiran gabah, pengeringan, penyimpanan di silo berkapasitas 1000 ton, hingga penggilingan padi berkapasitas 10 ton per jam. Tidak ketinggalan, "Istana Pisang" dengan penyimpanan pisang di ruang ber-AC tanpa pengawet dan bahan kimia, serta pengolahan gula merah, menunjukkan inovasi dan komitmen terhadap produk organik. Area Bioflok juga menjadi perhatian, menampilkan budidaya ikan tawar seperti patin, lele, gurami, dan nila.

5. Inovasi dan Lingkungan: Kunjungan ke kultur jaringan memperlihatkan laboratorium pengembang pembiakan tanaman, diikuti dengan peninjauan peternakan sapi dan pengolahan pupuk organik, menegaskan komitmen Al-Zaytun terhadap pertanian berkelanjutan dan pengelolaan limbah yang efektif.

6. Koperasi dan Kemandirian Ekonomi: Tamu diajak ke koperasi, tempat penjualan produk-produk Al-Zaytun seperti beras, gula, garam, minyak wijen, madu syariah, dan produk lainnya. Ini menunjukkan model bisnis yang terintegrasi, di mana produk hasil usaha Civitas dapat didistribusikan secara mandiri.

7. Manajemen Logistik Skala Besar: Jika waktu memungkinkan, kunjungan ke dapur memperlihatkan bagaimana makanan diolah untuk melayani ribuan penghuni, dilanjutkan ke laundry yang mengelola kebutuhan lebih dari 6000 penghuni. Ini menyoroti efisiensi manajemen logistik dan kebutuhan sehari-hari.

8. Kehidupan Asrama Pelajar: Kunjungan ke asrama pelajar, khususnya kantor asrama (manajemen asrama 130), memberikan gambaran tentang pengelolaan kehidupan pelajar dan fasilitas kamar santri.

9. Simbol Keagungan dan Visi Masa Depan: Masjid Rahmatan Lil Alamin menjadi destinasi terakhir, menunjukkan kemegahan arsitektur dan fungsinya sebagai pusat spiritual. Jika berkesempatan, tamu bisa naik ke Menara Pemuda dan Perdamaian hingga lantai 33, di mana terdapat restoran berputar yang masih dalam proses penyelesaian. Kunjungan ini dapat diperluas ke galangan kapal Samudera Biru di Eretan dan mini food estate di Sidadadi Haurgeulis, menunjukkan jangkauan dan cita cita besar Al-Zaytun yang melampaui batas-batas kampus.

IMG 20250711 WA0018

Kunjungan "thawaf" ini bukanlah sekadar jalan-jalan biasa, melainkan sebuah pengalaman imersif yang dirancang untuk memperlihatkan pengendalian arena pendidikan terpadu yang membentuk ekosistem pendidikan tak putus. Semua hajat dan kebutuhan civitas dipenuhi oleh kekuatan internal, mulai dari penanaman, pengolahan, hingga pengelolaan mandiri. Kelebihan produk kemudian dijual melalui Koperasi Desa Kota Indonesia, menciptakan model ekonomi sirkular yang mandiri dan berkelanjutan.

 

Al-Zaytun: Otonomi, Visi, dan Inspirasi untuk Kemandirian Bangsa

Konsep "thawaf" dan "tanah suci" di Al-Zaytun bukanlah upaya untuk menyelewengkan ajaran agama, melainkan representasi dari pemahaman yang lebih luas dan penerapannya dalam konteks pendidikan dan kemandirian. Al-Zaytun menunjukkan bahwa kemandirian adalah inti dari pendidikan yang holistik. Dengan mengelola sendiri berbagai aspek kehidupan civitas, mulai dari pangan, sandang, hingga energi, Al-Zaytun mengimplementasikan prinsip otonomi yang kuat. Ini adalah cerminan dari visi besar untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual dan spiritual, tetapi juga mandiri dan mampu berkontribusi pada kedaulatan bangsa.

Sistem pendidikan yang terintegrasi dengan sektor produksi seperti pertanian, perikanan, dan perkapalan, menjadi bukti nyata bahwa pendidikan tidak terlepas dari realitas ekonomi dan sosial. Pelajar tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga langsung terlibat dalam proses produksi, mengembangkan keterampilan praktis, dan memahami rantai nilai dari hulu ke hilir. Ini adalah model yang relevan untuk menghadapi tantangan masa depan, di mana kemandirian pangan, energi, dan teknologi menjadi krusial bagi sebuah bangsa.

 Epilog: Merajut Benang Pemahaman, Menumbuhkan Apresiasi

Maka, ketika kita mendengar istilah-istilah yang familiar namun digunakan dalam konteks yang berbeda, janganlah terburu-buru menghakimi. Ada baiknya kita bertanya, mencari tahu, dan mencoba memahami perspektif yang berbeda. Pengalaman "thawaf" di Al-Zaytun adalah undangan untuk memperluas cakrawala pemahaman kita tentang pendidikan, kemandirian, dan interpretasi makna.

Ini adalah kisah tentang sebuah institusi yang berani bermimpi besar, berani berbeda, dan berani mewujudkan visinya tentang kemandirian dan kontribusi nyata bagi bangsa. Di tengah hiruk pikuk informasi dan disinformasi, Al-Zaytun mengajarkan kita bahwa literasi adalah kunci untuk membuka pintu pemahaman yang lebih dalam. Bukan hanya tentang apa yang diucapkan, tetapi juga tentang bagaimana itu diimplementasikan, dan apa dampaknya bagi pembentukan karakter dan kemajuan sebuah peradaban kecil yang bernama Al-Zaytun, yang sesungguhnya adalah miniatur dari harapan besar untuk Indonesia yang mandiri dan berdaulat. Marilah kita belajar untuk melihat lebih dari sekadar permukaan, meresapi esensi, dan menghargai setiap upaya yang bertujuan untuk kebaikan bersama.