Oleh Ali Aminulloh
lognews.co.id - Ahad, 3 Agustus 2025, Mahad Al-Zaytun kembali menggelar kuliah umum dalam rangka pelatihan pelaku pendidikan berkelanjutan, Tema yang diusung yaitu transformasi revolusioner pendidikan berasrama demi terwujudnya Indonesia modern di Abad XXI dan 100 tahun usia kemerdekaan. Pendidikan modern yang digagas adalah berbasis LSTEAM (Law, Science, Technology, Engineering, Art, and Mathematic). Kegiatan ini telah dimulakan sejak 1 Juni 2025 dan kini memasuki pekan ke 10. Sub tema yang dibawakan adalah berkait dengan Law (hukum) yang dibawakan Prof. Dr. H. Sugiyanto, SH., MH. Guru Besar Hukum Tata Negara dan Otonomi Daerah UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon.
Jejak Hukum dalam Menopang Pendidikan Pesantren
Dalam kuliah umumnya yang penuh semangat dan wawasan, Prof. Dr. H. Sugianto, S.H., M.H., membuka paparan dengan menegaskan bahwa fondasi pendidikan nasional Indonesia berdiri tegak di atas prinsip negara hukum. Menurutnya, segala tata kelola pendidikan, termasuk pendidikan pesantren berasrama, tak bisa dilepaskan dari koridor konstitusi—terutama Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pendidikan, bagi beliau, bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan menjadi urusan kolektif seluruh elemen bangsa.
Prof. Sugianto menyambut hadirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren sebagai tonggak penting yang menegaskan tiga fungsi utama pesantren: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Ketiga fungsi ini, menurutnya, memiliki keselarasan dengan amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan regulasi guru dan dosen. Artinya, pesantren berasrama bukan lembaga pinggiran, melainkan jantung utama dalam membangun karakter bangsa dan menyiapkan SDM unggul berbasis nilai-nilai keislaman yang holistik.
Ia menggarisbawahi pentingnya transformasi hukum dalam lembaga-lembaga pendidikan, khususnya pesantren berasrama, agar mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan akar tradisinya. Reformasi regulatif, kolaborasi multi-pihak, dan keberanian untuk membuka diri di era keterbukaan informasi menjadi keniscayaan dalam memperkuat institusi pendidikan menuju 2045—tahun emas peradaban Indonesia
2. Pesantren Berasrama dan Visi Transformasi Indonesia
Dalam nada yang lebih personal, Prof. Sugianto menyampaikan kebanggaannya sebagai putra asli Indramayu Barat yang menyaksikan langsung geliat kemajuan Al-Zaytun. Ia mengibaratkan kawasan ini sebagai "mutiara yang tersembunyi", yang potensinya baru benar-benar ia rasakan setelah berkeliling melihat langsung lembaga-lembaga pendidikan dan fasilitas-fasilitas yang berdiri megah dan tertata.
Al-Zaytun, dalam pandangannya, bukan sekadar lembaga pendidikan, melainkan pusat peradaban baru yang siap menampung visi besar Indonesia Emas 2045. Dengan fasilitas pertanian, peternakan, hingga industri perkapalan dan pengolahan pangan, pesantren ini telah lebih dahulu mewujudkan visi ketahanan pangan dan ekonomi lokal sebelum istilah “astacita” menjadi program strategis nasional.
Prof. Sugianto menekankan, pendidikan berasrama seperti yang diterapkan di Al-Zaytun mampu membentuk karakter disiplin, tanggung jawab, dan kebersamaan. Ia menyarankan agar model ini menjadi rujukan nasional, dengan pembenahan kurikulum integratif antara akademik dan spiritualitas, serta memperkuat kolaborasi antarperguruan tinggi, termasuk mengusulkan agar Institut Agama Islam Al-Zaytun bertransformasi menjadi universitas penuh dengan membuka fakultas-fakultas umum.
3. Kolaborasi dan Tanggung Jawab Bersama Menuju Pendidikan Berkualitas
Lebih lanjut, Prof. Sugianto mengajak seluruh elemen pendidikan untuk bersama-sama membangun sistem yang kuat, adaptif, dan inklusif. Tantangan transformasi kelembagaan, katanya, tidak hanya menyangkut infrastruktur dan kurikulum, tapi juga terkait dengan penguatan sumber daya manusia, manajemen, kesejahteraan pendidik, serta transparansi kelembagaan di era digital.
Ia menegaskan bahwa tantangan-tantangan global tidak bisa dihadapi dengan sistem pendidikan yang eksklusif atau tertutup. Justru, saatnya pesantren membuka diri, menjalin sinergi dengan lembaga lain, serta mencetak lulusan-lulusan yang bukan hanya mumpuni secara akademik, tetapi juga siap kerja dan mampu menciptakan lapangan kerja.
Dalam penutupnya, ia menyentil paradigma pendidikan yang selama ini terlalu mengandalkan status formal, padahal pendidikan sesungguhnya adalah proses seumur hidup. Ia bercerita tentang mahasiswa program doktoral berusia 78 tahun yang sedang menyusun disertasi sebuah kisah inspiratif tentang semangat belajar yang tak lekang oleh usia. “Menuntut ilmu tidak mengenal pensiun,” tegasnya. Pesan ini menjadi pelengkap dari sebuah kuliah umum yang bukan sekadar orasi, melainkan refleksi panjang tentang masa depan bangsa.
Epilog: Dari Indramayu Menuju Dunia
Di penghujung kuliah umum yang hangat dan berisi ini, Prof. Sugianto menghadirkan pesan yang menggugah: bahwa pendidikan adalah hakikat dari keberlangsungan bangsa. Dari sebuah daerah kecil di Indramayu Barat, suara perubahan bisa menggema ke seluruh penjuru negeri, bahkan ke mancanegara.
Al-Zaytun bukan sekadar tempat belajar, melainkan lokomotif perubahan yang melaju kencang menuju cita-cita luhur bangsa. Di sini nilai-nilai Islam, semangat gotong-royong, dan visi global disatukan dalam harmoni yang menumbuhkan optimisme baru. Indonesia Emas 2045 bukan mimpi kosong—selama kita bersama-sama menjadikan pendidikan sebagai prioritas, hukum sebagai panglima, dan kolaborasi sebagai cara hidup.
“Karena membangun peradaban tidak cukup hanya dengan batu bata dan anggaran, tapi dengan cinta, keikhlasan, dan keyakinan bahwa anak-anak kita pantas hidup di dunia yang lebih baik dari yang kita warisi hari ini.”