Oleh Ali Aminulloh
Senin, 4 Agustus 2025, seorang diaspora Indonesia, Peter Budiono Setiawan, menemukan kembali makna keluarga yang sesungguhnya di Al Zaytun. Jauh dari rumahnya di Kanada, ia menemukan tempat di mana ia disambut dengan kehangatan dan rasa persaudaraan yang tulus. Ini adalah kisah tentang Peter, yang berkelana melintasi benua untuk menemukan sebuah komunitas yang menganggapnya sebagai bagian dari keluarga, tanpa memandang latar belakangnya.
Menggenggam Kenangan di Tanah Rantau
Lahir di Jakarta dari ayah Minang dan ibu Bangka, Peter Budiono Setiawan tumbuh di ibu kota sebelum akhirnya merantau ke Kanada pada tahun 1974. Ia pergi untuk melanjutkan pendidikan, dan di sana ia menetap, membangun bisnis garmen, dan mendirikan keluarga. Namun, ada harga yang harus ia bayar. Untuk menikah dengan gadis Tionghoa dari Trinidad dan Tobago, ia harus melepaskan kewarganegaraan Indonesianya karena terhalang regulasi. Peter menjadi warga negara Kanada, dan walaupun ia sering kembali ke Indonesia untuk urusan bisnis, ia jarang sekali bisa bertemu dengan keluarga besarnya. Istri dan kelima anaknya, yang semuanya warga negara Kanada, bahkan belum pernah menginjakkan kaki di tanah leluhur mereka.
Di balik kesuksesan dan kehidupan barunya, Peter menyimpan sebuah kenangan yang begitu mendalam tentang Indonesia, yaitu tanggal 27 Agustus. Tanggal itu bukan hanya tanggal lahirnya, tetapi juga tanggal peresmian Al Zaytun oleh Presiden B.J. Habibie pada tahun 1999. Ada ikatan batin yang kuat antara Peter dan Habibie. Mereka pernah bertemu secara langsung, berkat peran Peter sebagai perantara dalam urusan bisnis antara perusahaan penerbangan Kanada dan BPPT. Hubungan itu berlanjut hingga Habibie menjadi presiden. Peter tak pernah melupakan pesan singkat namun penuh makna dari Habibie yang sampai sekarang masih terpatri kuat dalam ingatannya: "Jangan lupakan Indonesia." Pesan itu seolah menjadi kompas yang terus membimbing Peter untuk tidak pernah melupakan akar budayanya, meski ia berada di belahan dunia lain.
Jejak Toleransi dan Kemanusiaan
Kenangan tentang Al Zaytun kembali muncul di benak Peter saat ia melihat unggahan tentang Al Zaytun di media sosial. Dorongan untuk berkunjung semakin kuat ketika ia melihat prasasti peresmian Al Zaytun yang ditandatangani oleh Habibie. Peter pun mengambil keputusan, mengirim email (surel) ke Sekretariat Pendidikan Al Zaytun, dan terbang ke Indonesia.
Peter akhirnya tiba di Al Zaytun pada tanggal 4 Agustus 2025. Setibanya di sana, ia disambut oleh Ustaz Ali Aminulloh. Pertemuan pertama di Resto Al Islah langsung membuat Peter jatuh hati. Ia takjub dengan keramahan, kemandirian, dan visi besar yang terpancar dari komunitas Al Zaytun. Kunjungan yang tadinya hanya ingin memverifikasi apa yang ia lihat di media sosial, kini menjadi sebuah perjalanan yang membukakan mata hatinya. Sebagai bukti cintanya, Peter menyerahkan cek sebesar 1.000 USD dari Bank of Montreal (BMO) yang telah ia siapkan sejak dari Kanada.
Kekaguman Peter semakin bertambah saat ia diajak berkeliling. Ia melihat kompleks kampus yang terintegrasi dengan tata ruang yang terprogram rapi. "Amazing," komentarnya, "Hanya orang dengan visi besar yang bisa melakukan ini." Namun, yang paling menyentuh hatinya adalah visi misi Al Zaytun sebagai pusat pendidikan toleransi dan perdamaian. Peter, seorang Katolik, merasakan langsung kehangatan Al Zaytun. Ia menyadari bahwa di sini, toleransi bukan sekadar kata-kata, melainkan praktik nyata. Al Zaytun mengajarkan kesetaraan dan saling menghormati, memandang semua manusia sebagai ciptaan Tuhan yang harus dihargai. Di Gedung Tansi, ia melihat santri-santri muda dengan antusias menjelaskan cara pembuatan kapal, menunjukkan bahwa mereka tidak hanya menghafal, tetapi juga memahami. Peter pun takjub melihat santri-santri yang turun ke sawah untuk memanen padi, sebuah pemandangan langka di era digital ini.
Pulang ke Rumah yang Baru
Kunjungan Peter berlanjut ke berbagai fasilitas industri Al Zaytun, mulai dari rumah potong ayam, rumah potong ikan, istana beras modern, perikanan, hingga instalasi pengolahan air limbah yang ramah lingkungan. Setiap sudut Al Zaytun menunjukkan kemandirian, efisiensi, dan penghargaan terhadap alam. Semua ini membuat Peter semakin kagum. Namun, puncak dari perjalanannya adalah saat ia diajak ke Masjid Rahmatan Lil Alamin. Peter, yang awalnya ragu, merasa terharu saat diperbolehkan masuk. Ia bersimpuh di tengah masjid, meneteskan air mata, bersyukur atas karunia Tuhan yang telah membawanya ke tempat ini.
Tak lama kemudian, Peter bertemu dengan Syaykh Al Zaytun, sosok yang begitu ia kagumi. Syaykh menyambutnya dengan begitu tulus dan menyampaikan kalimat yang menyentuh hati: "Mulai hari ini, Anda adalah saudara kami. Al Zaytun adalah rumah Anda. Jika Anda ke Indonesia, kami sudah siapkan kamar di Al Islah untuk Anda." Kalimat itu mengakhiri pencarian panjang Peter. Ia menemukan keluarga sejatinya, bukan dari garis darah, melainkan dari kemanusiaan yang tulus. Al Zaytun telah menjadi rumah bagi hatinya, tempat di mana ia diterima apa adanya.
Epilog: Akar pengikat keluarga yang hakiki adalah kemanusiaan.
Perjalanan Peter Budiono Setiawan adalah kisah tentang pencarian makna. Jauh dari tanah kelahiran, ia menemukan arti pulang yang sebenarnya. Di Al Zaytun, ia tidak hanya menemukan sebuah institusi pendidikan, melainkan sebuah keluarga yang melihat manusia bukan dari identitasnya, tetapi dari kemanusiaannya. Kisahnya menjadi pengingat bahwa keluarga sejati tak selalu terikat oleh darah, melainkan oleh ikatan batin dan hati yang terbuka. Peter menemukan kembali akarnya, bukan di tanah asalnya, melainkan di sebuah tempat yang mengajarkannya bahwa di mana pun kita berada, kita semua adalah satu keluarga di bawah naungan kemanusiaan.