Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan
lognews.co.id - Judul di atas sedikit adaptasi dari judul akun "tiktok" Panji Purnama berjudul "Belum Genap Dua Bulan, Bupati Indramayu Dipermalukan SKPD". Sayangnya ia meletakkannya dalam analisis politik yang datar dan hambar untuk isu politik yang begitu serius tapi mungkin itulah cara ia membranding diri di ruang media sosial.
Rapat paripurna DPRD Indramayu yang dihadiri langsung bupati Indramayu, Lucky Hakim (Senin 14/4/2025) tapi tidak diikuti kehadiran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait pembahasan tiga Raperda bukan perkara "main main". Ini problem "serius" dalam standart birokrasi modern.
Ketidakhadiran ASN, unsur SKPD, dalam forum paripurna DPRD tersebut jelas bukan sekedar "mempermalukan' Lucky Hakim dalam posisi ia sebagai bupati dalam sistem pemerintahan modern .Ini dalam teori Max Weber tentang birokrasi modern masuk kategori "civilized disobedience", sebuah tindakan pembangkangan sipil, tidak boleh terjadi.
Anggi Noviah, anggota DPRD dari fraksi PDI-P dalam "intrupsi" di forum rapat paripurna diatas menyebut peristiwa politik di atas adalah paripurna "terburuk" sepanjang sejarah ia menjadi anggota DPRD Indramayu (dua periode berjalan).
Diksi "terburuk" yang ia ucapkan "tepat" dalam teori Noam Chomsky tentang "political language", tentang teori "politik bahasa" yang disebut "revolusi kognitif", membongkar kemuliaan rapat paripurna dalam "standart politik modern menjadi "asfala safilin", seburuk buruknya skandal peradaban politik.
Kenapa hal begitu serius di atas terjadi, apakah kepemimpinan Lucky Hakim "lemah" atau berpura pura "lemah" atau seperti pertanyaan akun "Tiktok - M.A.S.H.I.L" tentang kemungkinan "orang kuat" dibalik ketidakhadiran unsur SKPD terkait dalam rapat paripurna DPRD justru saat pimpinan tertinggi birokrasi, yakni bupati hadir langsung di rapat paripurna tersebut?
Jawabannya kembali ke diktum Otto Van Bismoch, politisi moralis Jerman bahwa "politics is the art off the possible", politik adalah ruang kemungkinan. Publik bisa menafsirkannya dari beragam sudut pandang dalam relasi relasi kuasa yang berkelindan dalam anasir internal pemerintahan atau relasi politik di luarnya.
Satu hal adalah bahwa dalam prinsip "otonomi daerah" bupati adalah "political apointee", pejabat politik di mana diskresi, kebijakan dan tindakan politiknya diletakkan dalam frame "regulasi" yang mengikatnya dan ASN sebagai "support system'" dibawah bupati tidak boleh tidak kecuali loyal terhadap bupati.
Inilah panduan rezim politik birokratis bahwa bupati meskipun ia pejabat politik tetap dipagari regulasi untuk tidak bekerja "politisasi" terhadap kerja kerja teknokrasi ASN dalam birokrasi dan sebaliknya dalam kerja kerja birokrasi - ASN tidak boleh "lompat pagar" melakukan manuver politik terhadap bupati untuk kepentingan jabatan dan lain lain.
Dalam bahasa operasional politis menjadi bupati adalah memimpin dan memimpin jelas bukan seni manipulasi, tidak butuh "buzzer" justru jika "overload" bisa ibarat "hama wereng" merusak tanaman padi. Memimpin dalam konteks birokasi adalah seni implementasi niscaya membutuhkan kerja kerja support sistem birokrasi yang tidak diganggu "hama wereng" dari luar.
Di titik inilah urgensi wibawa dan ketegasan bupati memimpin orkestrasi birokrasi. Artinya begitu resmi dilantik menjadi bupati seharusnya ia sudah menyeberang dari ruang citra berpindah ke ruang nyata.
Di ruang citra ia bisa berbicara tentang 1001 macam program tapi di ruang nyata, di ruang eksekutif kebijakan sistemik dan terukur yang akan bercerita di ruang ruang publik.
Karena itu bupati harus "imun" dari "hama wereng" para buzzer yang merusak skema kerja sistemik birokrasi. Bupati harus punya kendali penuh terhadap kerja birokrasi, sebuah kerja sistemik dalam alur prinsip, yaitu input, out put, out come, benefit dan impact secara terukur.
Birokrasi ibarat air di "hulu" apakah akan mengalirkan "air kebijakan" yang maslahat dan jernih atau "kotor" tergantung karat dan tidaknya pipa pipa birokrasi. Ini sepenuhnya tergantung politik bupati menjaga wibawa birokrasi dari anasir anasir "gangguan" dari luar sehingga ASN tidak keluar rel rel "pakem" kerja birokrasi.
Kuncinya adalah keteladanan pemimpin dan integritas terpuji dalam kepemimpinannya untuk menginjeksikan wibawa dan pengaruhnya dalam skema kerja sistemik birokrasi dalam prinsip otonomi daerah menurut Prof Ryas Rasyid, pakar otonomi daerah, yaitu prinsip akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik secara bermakna.
Maka di sinilah kritik publik menjadi subsidi spirit dalam sistem demokrasi yang sehat. Kritik tidak akan menjatuhkan pemimpin tetapi justru sejarah berkali kali membuktikan bahwa puja puji yang berlimpah dan overload dari "lingkar terdalam" sangat membahayakan "umur kekuasaan".
Wassalam.