Oleh : H. Adlan Daie
Analis politik dan sosial keagamaan.
lognews.co.id - Bupati adalah "jabatan" publik bukan "orang", sebuah jabatan "mulia dan beradab" dengan segala diskresi dan kewenangan yang bersumber dari Undang Undang atas mandat pilihan rakyat.
Siapa pun "orang" yang dipilih mendapatkan mandat jabatan bupati harus dikontrol publik untuk mencegah tidak bertindak di luar garis "kemuliaan dan keadaban" jabatan yang dimandatkan rakyat.
Itulah bacaan penulis atas urgensi seminar Nasional yang diinisiasi IKA UNWIR dan Fak Hukum UNWIR Indramayu (30/1/2024) dengan tema "tata kelola pemerintahan daerah dalam bingkai otonomi daerah pasca pilkada untuk mewujudkan good government and clean governance di era digitalisasi".
Meskipun tema di atas sangat panjang dengan diksi "kurang bertenaga", pilihan tema ini mengirim pesan betapa bupati adalah lokomotif penggerak dalam mewujudkan "good government and clean government", yakni tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Di situlah letak "kemuliaan" jabatan bupati.
Di sisi lain penulis sangat apresiatif atas seminar di atas selain menghadirkan bupati dan wakil bupati terpilih, anggota DPR RI dan akademisi - juga kampus sebagai ruang intelektual mengambil peran "meaning full participation", sebuah aksi partisipasi bermakna dalam proses proses politik untuk maslahat publik.
Dalam teori sosial Imam Al Ghazali dalam kitab "Ihya Ulumuddin" (juz II) dijelaskan "Rakyat rusak karena pemimpin rusak. Pemimpin rusak karena "ulama" rusak dan "ulama" rusak karena tersandera "kemewahan" dan godaan "life style", gaya hidup "pansos" dan "flexing".
Pengertian "ulama" diatas dalam tafsir sosiologis Ibnu Khaldun, sosiolog muslim, penulis kitab "Mukadimah" adalah pemuka agama dan kaum intelektual. Prof Mahfud MD memasukkan di dalamnya para akademisi (masyarakat kampus), tukang survey dan influencer atau "buzer" bayaran.
Peran kampus, para akademisi dan kaum intelektual yang dalam diksi Imam Al Ghazali di atas disebut "ulama" ("Ilmuan") sangat penting dalam piramida siklus lapis lapis sosial, menentukan corak sosial, bahkan kemungkinan implikasi rusaknya masyarakat atau demoralisasi sosial.
Harry Julian Benda dalam bukunya "The Treason Off the Intellectuals" begitu keras menuding absennya peran kaum intelektual, para akademisi dan masyarakat kampus dalam dinamika publik sebagai "pengkhianatan" intelektual - apalagi jika berkolaborasi dalam "kemaksiatan politik".
Problem Indramayu memang harus "beberes" dari "hulu" tata kelola "good government and clean governance", tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Prinsipnya menurut Prof Ryas Rasyid, pakar otonomi daerah, adalah akuntabilitas, transparansi dan partisipasi publik.
Tiga variabel di atas bagian penting dari prinsip negara "hukum" atau mengutip Bung Hatta disebut "Rechtsstaat", harus mencerminkan prinsip keadilan, tidak direduksi menjadi "negara legal" di mana regulasi dibuat asal "legal" secara prosedural negara tapi tidak mencerminkan prinsip keadilan dalam perspektif negara hukum.
Sepanjang praktek "jual beli" jabatan, tukar tambah politisasi birokrasi dan modus akal akalan legalitas urusan proyek dan perijinan menjadi "mainan" rezim politik, tidak "proper" dalam prinsip "good government and clean Governance" - pasti buruk layanan publik dan "bottleneck" atau menjadi penghambat investasi dan ikhtiar "memajukan kesejahteraan umum".
Prinsip "keadilan" adalah ruh dari "good government and clean governance". Ibarat air birokrasi adalah hulu apakah mengalirkan air "bersih" atau "keruh" ke pipa pipa kehidupan ruang publik tergantung keteladanan dan moralitas etik pemimpinya.
Karena itu raihan elektoral 67% dalam pilkada 2024 tidak sekedar dimaknai legitimasi politik tetapi di sisi lain adalah harapan publik Indramayu begitu tinggi dititipkan di pundak mereka - harus dirawat dalam kerja kerja "kemuliaan" maslahat publik secara adil.
Seminar yang diinisiasi IKA UNWIR dan Fak. Hukum UNWIR Indramayu di atas telah membuka jalan peradaban politik baru bahwa masyarakat kampus dan kaum intelektual memiliki tanggung jawab sejarah untuk selalu terlibat dalam memandu jalan "kemuliaan" politik.
Sejarah kelak akan mengujinya dan publik selalu menemukan cara untuk menagih janji janji politiknya.
Wassalam.