السبت، 19 تموز/يوليو 2025

Dibanding Negara Lain, Perlindungan Lansia di Indonesia Masih Tertinggal

تعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجومتعطيل النجوم
 

lognews.co.id, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Bambang Soesatyo, mendorong pemerintah dan parlemen segera merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (UU Kesejahteraan Lansia). Menurutnya, undang-undang yang telah berumur 27 tahun itu tidak lagi relevan dengan dinamika sosial-ekonomi dan teknologi saat ini.

"UU yang telah berumur 27 tahun tersebut, dibuat ketika struktur keluarga masih relatif tradisional dan ketergantungan pada solidaritas komunitas masih tinggi. Saat ini realitas telah berubah," ujar Bamsoet dalam keterangan resminya usai menerima jajaran Pengurus Badan Perlindungan Lanjut Usia Indonesia (BP Lansia) di Jakarta, Senin (8/7).
Politisi senior itu menilai, kondisi lansia kini semakin terpinggirkan akibat derasnya arus urbanisasi, membengkaknya biaya hidup, melemahnya peran keluarga sebagai institusi perawatan, hingga eksklusi digital terhadap kelompok usia lanjut.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Bamsoet mengungkapkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia telah mencapai 11,75 persen dari total populasi atau sekitar 32,5 juta jiwa pada 2023. Angka ini diperkirakan terus naik hingga 20 persen pada 2045.

"Tidak ada pasal yang secara rinci mengatur standar layanan kesehatan lansia, bantuan perawatan jangka panjang, perlindungan terhadap kekerasan berbasis usia, atau skema insentif bagi keluarga yang merawat lansia di rumah," tegas Bamsoet yang menilai UU yang ada belum menjawab tantangan secara konkret.

Tak hanya soal layanan, Bamsoet juga menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi lansia. Ia mengutip laporan Komnas Lansia dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menunjukkan peningkatan kekerasan dan penelantaran terhadap lansia, terutama dalam lingkup rumah tangga.

"Banyak dari mereka yang mengalami kekerasan ekonomi, dipaksa menyerahkan aset atau pensiun, atau sekadar diabaikan dalam kebutuhan dasarnya, namun karena minimnya aturan hukum, serta tidak adanya mekanisme aduan yang ramah lansia, sebagian besar kasus tersebut tidak pernah sampai ke proses hukum," tuturnya prihatin.

Bamsoet juga menyoroti problem struktural di masa produktif. Sebagian besar lansia Indonesia, katanya, berasal dari sektor informal yang tidak memiliki akses terhadap dana pensiun atau jaminan hari tua.

"Bahkan, banyak yang harus tetap bekerja di usia tua, menjadi penjaga warung, pemulung, atau buruh harian hanya untuk bertahan hidup," ucap mantan Ketua DPR dan MPR RI itu.

Dalam paparannya, Bamsoet menyebut sejumlah negara Asia yang telah melangkah jauh dalam melindungi warganya yang menua. Jepang, misalnya, menerapkan sistem Long-Term Care Insurance (LTCI) untuk memastikan negara menyediakan layanan perawatan jangka panjang berbasis komunitas.

Sementara Korea Selatan telah mengintegrasikan sistem e-health agar lansia dapat memantau kondisi kesehatannya sendiri secara mandiri. Di sisi lain, Vietnam sejak 2018 mulai memperkuat program home care berbasis desa.

"Selain itu, Vietnam sudah mulai memperkuat program home care berbasis desa sejak 2018," ujarnya.

Melihat ketertinggalan tersebut, Bamsoet menegaskan bahwa Indonesia tak bisa lagi menunda revisi UU Kesejahteraan Lansia. Wacana perubahan sudah lama bergulir, namun hingga kini belum juga terealisasi.

"Kita memerlukan undang-undang yang tidak hanya menyebut hak-hak lansia, tetapi juga menjamin pelaksanaannya dengan skema pembiayaan yang realistis, integrasi layanan lintas sektor, serta perlindungan hukum yang progresif," tegasnya.

Dalam pertemuan tersebut, hadir pula jajaran BP Lansia, antara lain Ketua Umum Karmen Siregar, Wakil Ketua Umum Robinson Napitupulu, Wakil Sekretaris Jenderal Monang Sirumapea, Bendahara Umum Menara Surya, serta Ketua Anton Hutabarat dan Imam Samudra. (Amri-untuk Indonesia)