PEMILU
الأحد، 15 حزيران/يونيو 2025

TRANSFORMASI PENDIDIKAN: MENYELAMI GAGASAN PARA FILOSOF DARI MASA KE MASA

تقييم المستخدم: 4 / 5

تفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتعطيل النجوم
 

(Disarikan dari Dzikir Jum’at Syakh A.S. Panji Gumilang oleh Ali Aminulloh)

lognews.co.id, Indonesia - Dzikir Jum’at, 13/6/25, menjadi momentum reflektif di mana Syaykh Panji Gumilang menyampaikan perenungan mendalam mengenai filsafat pendidikan dari zaman ke zaman. Tema ini bukan sekadar telaah intelektual, tetapi langkah konkret memperkaya fondasi pendidikan nasional, menuju konsep besar yang telah digaungkan: Transformasi Revolusioner Pendidikan Abad 21.

Gagasan ini, menurut Syaykh, harus disampaikan kepada negara agar arah pembangunan pendidikan kita tidak tercerabut dari akar filosofis dan spiritualnya.

Untuk itu, Syaykh mengajak jamaah Masjid Rahmatan lil Alamin  menelusuri sejarah pendidikan dalam lintasan waktu, menyambungkan gagasan besar para filosof dunia dengan visi pendidikan kontemporer berbasis nilai-nilai ilahi.

Beliau menggarisbawahi tiga tujuan utama, yaitu menelusuri transformasi pendidikan, menghubungkan konteks filosofis, dan mengembangkan pendidikan modern.

1.           Menelusuri transformasi pendidikan

Menggali bagaimana setiap periode membawa perubahan “Konsep Pendidikan” dari kebijakan dan karakter hingga pragmatisme dan teknologi

2.           Menghubungkan konteks filosofis

Melihat bagaimana pemikiran filosof dari berbagai zaman membentuk struktur pendidikan yang kita kenal hari ini. Sebagaimana ajaran ilahi dalam al-qur’an (Ali Imran: 26) menyatakan : Qulillāhumma mālikal-mulki tu`til-mulka man tasyā`u wa tanzi'ul-mulka mim man tasyā`u wa tu'izzu man tasyā`u wa tużillu man tasyā`, biyadikal-khaīr, innaka 'alā kulli syai`in qadīr

(artinya: Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu).

Dalam ayat lain (As-Sajdah: 5) yudabbirul-amra minas-samâ'i ilal-ardli tsumma ya‘ruju ilaihi fî yauming kâna miqdâruhû alfa sanatim mimmâ ta‘uddûn (Artinya: Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (segala urusan) itu naik kepada-Nya pada hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu).

Kita sambungkan pandangan dari generasi ke generasi ke konteks masa kini.

3.           Mengembangkan pendidikan modern

Menyesuaikan nilai nilai masa lalu dengan tantangan kontemporer, terutama dalam konsep novum gradum dan masyarakat 6.0

Syaykh memaparkan, pendidikan selalu mengalami transformasi dalam setiap fasenya. Perubahan itu mencakup aspek konsep, karakter, kebijakan, hingga pergeseran menuju pendekatan pragmatis dan teknologi modern. Akar perubahan itu, katanya, dapat ditelusuri dalam delapan fase sejarah filsafat pendidikan:

1.           Zaman Klasik/Kuno

2.           Zaman Sebelum Pertengahan

3.           Zaman Pertengahan

4.           Zaman Keemasan Islam

5.           Zaman Renaissance dan Humanisme

6.           Zaman Modern

7.           Zaman Kontemporer

Pada Dzikir Jum’at hari ini, Syaykh memaparkan pemikiran para Filosof Zaman Klasik atau zaman kuno.

Menelusuri Delapan Jejak Filsuf Pendidikan Dunia

Di tengah kebangkitan semangat transformasi pendidikan Indonesia, penting untuk menengok kembali akar-akar pemikiran pendidikan yang telah dibangun oleh para filsuf besar dunia. Sebuah perjalanan historis yang bukan hanya merefleksikan gagasan semata, melainkan membentuk struktur kesadaran kita dalam melihat pendidikan sebagai jalan membentuk manusia paripurna. Delapan tokoh filosof klasik berikut memberi landasan penting bagi pendidikan lintas zaman, yang jika kita gali lebih dalam, akan memperkaya narasi besar revolusi pendidikan kita hari ini.

1. Socrates: Pendidikan sebagai Kelahiran Kesadaran Kritis

Socrates (469–399 SM) adalah figur penting yang menandai babak awal dalam filsafat pendidikan klasik Yunani. Uniknya, Socrates tidak meninggalkan karya tulis apapun; pemikirannya disampaikan lewat dialog dan kemudian dituliskan oleh muridnya, Plato. Dalam dialog Republik, Plato menarasikan pemikiran Socrates tentang negara yang ideal, di mana pendidikan menjadi alat untuk membentuk manusia kritis dan bermoral.

Socrates mengibaratkan pendidikan sebagai bidan (maieutika)—bukan memaksakan ilmu dari luar, melainkan membantu "melahirkan" pengetahuan dari dalam diri peserta didik. Ia mendorong pembentukan kesadaran moral dan intelektual melalui dialog dan pertanyaan kritis, pendekatan yang dikenal saat ini sebagai Socratic Questioning. Dalam konteks pendidikan karakter modern, gagasan ini menjadi dasar bagaimana guru mendorong peserta didik berani berpikir dan menyuarakan pendapat secara reflektif.

2. Plato: Pendidikan sebagai Jalan Menjadi Filsuf-Raja

Plato (427–347 SM), murid langsung Socrates, memperluas dan membakukan gagasan pendidikan dalam kerangka sistem yang utuh. Ia memandang pendidikan sebagai tahapan berjenjang panjang. Menurutnya, pendidikan dasar berlangsung hingga usia 18 tahun, dilanjutkan pendidikan menengah sampai usia 30 tahun, dan hanya mereka yang terus belajar setelah usia 30 yang dapat menjadi filsuf-raja yaitu manusia yang berpendidikan utuh.

3. Aristoteles: Pendidikan sebagai Pembentuk Kebiasaan Menuju Kebajikan

Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, membawa pemikiran pendidikan ke arah yang lebih praktis dan seimbang. Ia meyakini bahwa pendidikan harus menciptakan kebiasaan baik (ethos) untuk membentuk manusia ideal. Tujuan akhirnya adalah mencapai Eudaimonia—kebahagiaan sejati yang lahir dari hidup yang bermakna dan bermoral.

Pendidikan menurut Aristoteles adalah proses menanamkan kebiasaan untuk membentuk karakter. Ia menekankan keseimbangan antara teori dan praktik. Pemikirannya inilah yang banyak memengaruhi filsafat pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan konsep jalmo utama—manusia berbudi luhur dan berguna bagi masyarakat.

4. Konghucu (Confucius): Pendidikan sebagai Jalan Harmoni Sosial dan Moralitas

Konghucu (551–479 SM), seorang filsuf dari Tiongkok, meletakkan pendidikan sebagai sarana membentuk moralitas dan ketertiban sosial. Ia menekankan nilai-nilai Ren (kemanusiaan), Li (tata krama), dan Xiao (kesetiaan keluarga).

Bagi Konghucu, pendidikan harus mendidik individu agar menjadi bagian dari masyarakat yang adil dan harmonis. Nilai-nilai ini hingga kini masih dipegang di negara-negara seperti Tiongkok, Taiwan, dan Vietnam. Ia tidak hanya mengajarkan moral personal, tapi juga tanggung jawab sosial sebagai wujud keharmonisan kolektif.

5. Laozi: Pendidikan Alami dalam Keseimbangan Alam

Laozi (abad ke-6 SM) membawa pandangan yang unik melalui filosofi Taoisme. Menurutnya, pendidikan tidak seharusnya memaksakan pengetahuan, tetapi membiarkan kebijaksanaan tumbuh secara alami selaras dengan jalan alam (Dao).

Gagasan ini menentang pendekatan pendidikan yang kaku dan menekan. Ia menekankan pendidikan sebagai pengalaman hidup, bukan sekadar hafalan atau dogma. Konsep ini kini muncul dalam pendekatan pembelajaran reflektif, pembelajaran berbasis alam, dan pengembangan mindfulness di sekolah-sekolah modern.

6. Pythagoras: Pendidikan sebagai Harmoni Jiwa melalui Ilmu dan Musik

Pythagoras (570–495 SM) dikenal luas karena rumus segitiganya, tetapi kontribusinya dalam pendidikan jauh lebih dalam. Ia melihat pendidikan sebagai jalan mencapai harmoni—baik secara kosmis maupun personal.

Pythagoras mengajarkan bahwa melalui matematika dan musik, jiwa dapat diseimbangkan dan dikembangkan. Baginya, ilmu dan seni adalah dua sisi yang tak terpisahkan dari pendidikan manusia seutuhnya. Konsep ini relevan dalam era STEAM education (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics) yang mengintegrasikan sains dan seni dalam pembentukan kepribadian peserta didik.

7. Isocrates: Pendidikan Retorika untuk Warga Negara Aktif dan Bijak

Isocrates (436–338 SM) membawa pendekatan berbeda dalam pendidikan, yaitu melalui retorika. Ia percaya bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk individu yang mampu berpikir, berbicara, dan bertindak secara bijak dalam ruang publik.

Dalam pandangannya, pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga keterampilan berkomunikasi dan mengambil keputusan. Filosofi ini menjadi dasar penting dalam pembelajaran public speaking, leadership, dan civic education. Di kalangan santri, pelatihan muhadharah mencerminkan semangat Isocrates dalam menyiapkan generasi pemimpin yang fasih dan bijak.

8. Buddha Gautama: Pendidikan untuk Kebijaksanaan dan Pembebasan Diri

Siddharta Gautama (563–483 SM), atau Buddha, memandang pendidikan sebagai sarana mencapai pencerahan dan membebaskan diri dari penderitaan. Bukan sekadar akumulasi pengetahuan, pendidikan menurut Buddha harus membentuk kesadaran, karakter, dan empati.

Ia mengajarkan bahwa proses belajar harus membawa individu menuju kehidupan yang lebih bermakna dan penuh welas asih. Dalam konteks pendidikan modern, gagasan ini berkaitan erat dengan pendidikan holistik, emotional intelligence, dan pendidikan berbasis nilai-nilai kemanusiaan universal.

Membuka Diri untuk Lompatan Transformasi

Sering kali, ketika kita membicarakan tokoh pendidikan dari latar agama atau budaya yang berbeda, muncul resistensi. Mungkin terasa asing atau bertentangan dengan keyakinan kita. Namun, bila kita menutup diri dari khazanah pengetahuan lintas peradaban, maka transformasi revolusioner yang kita cita-citakan tak akan pernah sampai pada kedalaman makna yang hakiki.

Maka, penting untuk menanamkan sikap terbuka—bahwa belajar dari siapa pun bukan berarti menggadaikan iman, melainkan memperkaya daya nalar dan strategi pendidikan kita. Inilah modal awal untuk merancang pendidikan Indonesia yang unggul, inklusif, dan berpijak kuat pada nilai-nilai universal maupun wahyu Ilahi.

Epilog: Menuju Revolusi Pendidikan yang Berakar dan Berorientasi Masa Depan

Dzikir Jum’at ini bukan hanya refleksi spiritual, tapi juga pengingat intelektual. Bahwa pendidikan sejati adalah ibadah yang tak berhenti. Dalam lintasan para filosof dari Sokrates hingga Buddha Gautama, kita menemukan mozaik inspirasi: keberanian berpikir, keikhlasan mendidik, dan kedalaman membangun manusia.

Kini, saatnya kita menyambung warisan-warisan itu dengan risalah Islam, menyelaraskannya dalam konteks Indonesia yang lebih arif dan bijaksana. Bila generasi muda Indonesia dididik dengan semangat maieutika Socrates, hikmah Laozi, retorika Isocrates, dan adab Konghucu, maka lahirlah bangsa besar yang tak hanya cerdas, tapi juga luhur.

Mari kita teguhkan langkah, karena mendidik bukan sekadar mencerdaskan, tapi menyusun peradaban.