الإثنين، 30 حزيران/يونيو 2025

Imam Besar Masjid Istiqlal, Sikapi Politik, Pesantren, Dan Medsos Agar Mengutamakan Kemanusiaan Dan Ketentraman

تقييم المستخدم: 5 / 5

تفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجومتفعيل النجوم
 

lognews.co.id, Jakarta – Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, MA adalah salah satu tokoh Islam Indonesia kelahiran Ujung-Bone, Sulawesi Selatan yang pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama RI dari tahun 2011 sampai 2014.

Tim lognews berkesempatan untuk berdialog langsung mengenai wawasan kebangsaan terkait isu politik, keagamaan, toleransi dan perdamaian.

Diterima diruang kantornya, wartawan senior Nasution dengan semangat berdialog kebangsaan untuk kemaslahatan umat khususnya dalam kondisi politik sekarang ini ;

Nasution : "Islam bukan hanya mengakui kebebasan berpendapat bahkan berani melindungi prnsip prinsip kebebasan berpendapat, perumpamaannya tidak didapati dalam sistem ideologi dan agama manapun, setuju Prof ?"

Prof. Nasaruddin Umar : “Iya saya setuju, Islam adalah agama/ajaran yang terbuka tuntutlah ilmu sampai ke tanah china, gak ada orang islam di china pada waktu itu , jauh dari tanah air islam saat itu, begitu optimisnya Rasulullah kirim sahabat sampai ke china, dia kirim ekspedisi ke Eropa, Mesir, Syiria bahkan ke seluruh belahan dunia dikirim, jadi bukti rasulullah menganut pola managemen terbuka”

Nasution : “Ketika kebebas disamakan dengan budaya prof menerima itu ?”

Prof. Nasaruddin Umar :  “Ya, budaya itu untuk bergantung pada budaya setiap lokasi, pendefinisian setiap negara itu menganggap kebebasan itu apa? bagi Amerika dan negara Eropa yang buka bukaan tanpa batas kadang kadang itu masih dianggap lumrah, tetapi bagi kita yang berbudaya, dan berpancasila ada berkeadaban, ya tentu kita tidak ingin mengartikan kebebasan jadi kebablasan, kebebasan itu positif keblablasan itu negatif, sejauh yang saya lihat kawan kawan mengekspresikan kebebasannya bukan kebablasanya, jadi saya malah tidak risih , tidak resah, ekspresi kebebasan yang dilakukan teman teman dimedia sosial memang harus seperti itu, kita bukan lagi bangsa yang primitif yang takut terhadap perubahan, bukan lagi bangsa yang seperti dahulu tidak punya rasa percaya diri secara terbuka dengan dunia internasional, kalau ingin masuk kesuatu bangsa yang besar harus mampu berdialektika dengan bangsa bangsa yang lain, tidak kecuali bangsa yang sudah maju.

Nah, kalau kita mengurung diri, ini tidak boleh, itu tidak boleh, penuh dengan daerah terlarang, dilarang untuk bicara yang macam macam, itu kita akan “set back” ke belakang, dan generasi baru kita tidak bisa dibatasi.

Dari litbang Kompas, usia dibawah 30 tahun  lebih moderat dan toleran, jadi saya sependapat dengan kompas, kita tidak khawatir Pemilu nanti dipenuhi politik aliran  yang cenderung kepada hal hal destruktif, bangsa kita sudah terbiasa berdemokrasi, sudah terbiasa berpendapat dan sejajar dengan bangsa bangsa lain, berpengalaman berbeda pendapat, wajar bangsa kita juga sudah sejajar dengan bangsa lain.

Kebablasan itu kalau mempreteli aibnya orang, memfitnah orang, sejauh ada faktanya, penafsiran disertai fakta jadi saya kira itu terbuktikan, dijaman modern ini bersiaplah untuk dikritik dan siap mengkritik.

Yang tidak boleh mengada ada sesuatu yang tidak ada namanya fitnah, kalau hari ini yang muncul adalah koreksi sosial masyarakat dan itu mendukung. dan saya juga yakin kritikan itu lebih banyak membangun bangsa daripada menciptakan budaya penjilatan, justru kalau kita budayakan “yes man” itu akan menjadikan bangsa yang terpuruk, jadi saya percaya  bahwa ini adalah fenomena positif untuk bangsa, bukan negatif, mungkin saya termasuk orang yang beraliran optimistik.

Kadang melihat berita didalam negeri seperti esok sudah mau kiamat saja, arti objektif itu jangan kita membuayakan cicak, tapi juga tidak boleh mencicakkan buaya,  jangan mengharimaukan kucing, kucing ya kucing, harimau ya harimau, sepertinya persoalan kita tidak seberapa tapi kita menganggapnya itu buaya padahal itu hanya cicak atau kucing.

Jadi pemerintah jangan mengkucingkan harimau atau sebaliknya begitupun juga masyarakat, kalau kita menjadi bangsa yang dinamikanya sangat tinggi, saya sebagai imam besar masjid Istiqlal dan akademisi, kita harus mengatakan kebenaran itu pahit atau manisnya, bagi saya apa yang perlu didukung pemerintah ya kita dukung, masyarakat juga harus berani membuka diri, tidak selamanya masyarakat itu  benar, kadang kadang masyarakat juga terpengaruh sehingga ikut ikutan.

Selama kita berdasarkan atas fakta fakta kebenaran, masyarakat akan menerima kita, pemerintah juga akan menghargai kita”.

Nasution : “Kebenaran ketika diframing oleh media sosial lalu diambil begitu saja oleh para ulama, apa yang terjadi dengan negara ini sebenarnya ?”

Prof. Nasaruddin Umar : “Maka itu wawasan kita harus kompeherensif, mubaligh mubaligh yang jadi juru bicara umat islam jangan sampai itu wawasannya kecil, daya bacanya sedikit, kadar pengetahuan kogntifnya sangat terbatas, berpotensi untuk membahayakan, menjerumuskan umat, dan menderamatisasi sesuatu.

Mubaligh kita berpotensi untuk terpengaruh kelompok kelompok kepentingan tertentu, dan menggunakan mimbar untuk menghujat seseorang, jadi sudah bukan waktunya memanfaatkan ustadz atau mubaligh, masyarakat kita sekarang sudah cerdas,sekalipun mubalighnya mengatakan itu, sudah gak laku memprofokasi orang dengan mengkamuflatif, sekalipun ulama tersohor mengucapkan itu, bisa kita konfirmasi dengan handphone.

Saya juga menghimbau kepada kandidat kandidat yang akan menjadi pelaku utama di Republik ini, jangan sampai menjual fitnah nanti bisa menimbulkan dampak negatif, dan masyarakat jangan mudah terprofokasi kekuatan tertentu dan media sosial juga perlu kita himbau untuk menyayangi negerinya, jangan hanya ingin mengejar oplah, target mendramatisasi suatu keadaan sehingga medianya laku, saya kira itu gak dewasa, kita harus mencintai bangsa ini bersama sama”.

Nasution : “Dibeberapa media online, nama Prof masuk kedalam daftar calon wakil presiden apakah Prof menerima itu? Atau memang orang kedua pemimpin negeri adalah orang dari tokoh islam atau pesantren ?”

Prof. Nasaruddin Umar : “Terus terang saya tidak memikirkan itu, saya hanya bekerja dan bekerja terus sesuai dengan profesi saya sebagai pimpinan pondok, sebagai pimpinan masjid Istiqlal, tidak pernah ada ambisi dan bisa anda lihat sepak terjang saya, pernah tidak saya bermain politik ? dibelakang saya gak ada jejak jejak partai politik yang saya usung walaupun saya punya personal “choice” , bagi saya saya hanya menjalankan sebagai pemimpin umat, saya akan bangga dan bahagia walaupun lingkup kecil tapi bisa merasakan ketenangan jadi kata kunci saya bagaimana menciptakan ketenangan bangsa yang saya cintai ini.

Kemudian orang yang memiliki kekuatan dan kejujuran, kalau hanya kuat tanpa jujur itu mencelakakan bangsa, korupsi dimana mana, atau sebaliknya jujur melulu tapi tidak punya progresifitas lumpuh juga bangsa ini bagaimana bisa bersaing kepada orang yang penuh gerakan gerakan, jadi kombinasi al qowi dan al amin itu yang akan menjadikan negara yang besar, kombinasi antara iqro dan bismikarobik itu juga menghasilkan bangsa besar, kalau hanya iqro melulu, itu akan menghasilkan monster, tapi kalau bismirobik melulu itu akan menghasilkan manusia lumpuh,  jadi iqro dipadu bismirobik,al qowi dipadu al amin, itulah resep Al quran”.

Dipenghujung obrolan, Prof. Nasaruddin Umar juga berpesan kepada pemilik pondok pesantren agar membangun pondoknya atas niat yang luhur “segala yang tumbuh dari niat yang luhur, akan diterima secara universal” itu teorinya ujarnya.

Ditambahkannya bahwa “humanity is number one” kemanusiaan nomor satu, yaitu jika beranjak pada hati nurani yang sama, maka kemanusiaan tidak ada merknya, baik yang memiliki kulit hitam, kulit putih atau kewarganegaraan manapun, yang jujur pasti akan diterima secara universal, yang pembohong pasti akan ditolak secara universal, itulah hati nurani.

“Kalau kita berpatokan pada ketulusan hati nurani, pasti akan diterima dan pasti akan menang, Fir'aun kalah oleh nabi Musa”. Pungkasnya.  (Amr-untuk Indonesia)