Oleh: Ali Aminulloh
lognews.co.id - Banyak cara mengekspresikan gagasan dan pemikiran. Salah satunya lewat puisi. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sejumlah budayawan seperti W.S. Rendra, Chairil Anwar, dan Taufiq Ismail, menyampaikan kritik, harapan, serta gagasan revolusioner lewat puisi. Puisi menjadi medium yang kuat untuk menyuarakan hati nurani dan memantik kesadaran.
Demikian pula Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang, pada Ahad, 10 Agustus 2025, di Forum Pelatihan Pelaku Didik Al-Zaytun, kali ini lain. Sebagai sambutan atas materi yang disampaikan Prof. Sugiyono tentang pembelajaran berbasis riset, Syaykh menyampaikan gagasan transformasi revolusioner pendidikan berasrama menuju pendidikan modern abad XXI, untuk menyongsong 100 tahun kemerdekaan Indonesia.
Beliau membacakan puisi tersebut di atas podium, didengarkan secara khusu oleh ribuan peserta pelatihan, termasuk wali santri, mahasiswa, dan siswa. Puisi ini tidak hanya berisi untaian kata indah, melainkan sebuah petisi yang menggaungkan aspirasi mendalam tentang arah pendidikan yang ideal. Melalui puisinya, Syaykh Panji Gumilang menawarkan sebuah visi pendidikan yang transformatif dan berani, yang bergerak melampaui batas-batas konvensional. Berikut naskah puisi karya AS. Panji Gumilang:
PUISI PETISI & SUMPAH PELAJAR UNTUK INDONESIA EMAS 2045
Dari Ladang Jiwa Menuju Cahaya Bangsa
Wahai pemimpin negeri,
dengarlah suara yang kami tanam dalam sunyi.
Kami bukan datang membawa tuntutan,
Kami datang membawa harapan.
Kami tidak ingin istana belajar,
Kami memohon ladang jiwa
Seluas 3.000 hektar di setiap daerah Indonesia
Agar pendidikan tidak hanya duduk,
Melainkan bergerak, bercocok tanam makna.
Selama lima belas tahun kami ingin hidup di dalamnya,
Bukan untuk menghafal,
Melainkan untuk membentuk diri.
50 juta anak negeri siap tumbuh,
Bukan menjadi pintar yang rapuh,
Tetapi menjadi bangsa yang bertulang nilai.
Wahai negara,
Biayailah perjalanan ini bukan sebagai proyek,
Melainkan sebagai warisan.
Karena Indonesia Emas bukan mimpi di pidato,
Ia adalah nyata dalam dada anak-anakmu.
Dan kami, pelajar,
Hari ini berdiri dengan kepala tertunduk dan hati menyala.
Kami bersumpah:
Bahwa kelak,
Kami akan membangun ekonomi yang adil dan berkeadaban,
Menyusun politik yang jujur dan beretika,
Merawat sosial yang menyatukan, bukan memecah.
Kami akan menjaga budaya,
Tidak sekadar mempertahankan, tetapi menghidupkannya.
Kami akan berbakti di medan pertahanan dan keamanan,
Bukan dengan ketakutan,
Tetapi dengan kecintaan dan pengetahuan.
Kami tidak akan pergi meninggalkan Indonesia,
Kami akan tinggal di Indonesia,
Membangun, merawat, dan mempersembahkan jiwa kami untuk keabadiannya.
Karena negeri ini bukan sekadar warisan,
Ia adalah titipan dari masa depan
Yang menunggu kami menepati sumpah ini.
Maka hari ini,
Kami satukan harapan rakyat dan janji pelajar,
Menjadi satu suara:
Bangkitlah Indonesia dari ladang-ladang pendidikan jiwa
Dan jadilah bangsa yang tak sekadar besar tetapi abadi.
Epilog: Menjemput Indonesia Emas 2045
Puisi ini lebih dari sekadar susunan kata; ia adalah manifesto kebangkitan. Syaykh Panji Gumilang, melalui karya sastranya, menanamkan benih pemikiran bahwa pendidikan sejati bukanlah proses pasif yang hanya mengisi kepala dengan hafalan. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi ladang yang subur, tempat jiwa-jiwa muda tumbuh, bergerak, dan bercocok tanam makna. Ini adalah panggilan untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga kokoh dalam nilai, berkarakter mulia, dan siap menjadi tulang punggung peradaban. Sumpah para pelajar yang terlantun dalam puisi ini adalah janji suci untuk tidak meninggalkan tanah air, melainkan mengabdikan diri sepenuhnya untuk membangun dan merawat Indonesia hingga menjadi bangsa yang abadi. Puisi ini adalah warisan inspiratif, sebuah mercusuar harapan yang menunjukkan bahwa dengan pendidikan jiwa yang benar, Indonesia Emas 2045 bukanlah sekadar mimpi, melainkan takdir yang menunggu untuk dijemput dengan tekad dan tindakan nyata.